Kamis, 31 Maret 2011

Memberi Dukungan Belajar Anak



Tuhan tidak memberikan makan siang gratis, maknanya adalah Tuhan tidak memberikan kecerdasan dan keberhasilan hidup anak-anak kita tanpa ada jerih payah dari kedua orang tuanya dan si anak itu sendiri. Prinsip ini aku pegang benar, aku dan istriku harus melakukan sesuatu agar anak-anakku merasa nyaman belajar. Seperti memfasilitasinya dengan meja belajar, rak buku, property penunjang belajar lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perhatian dan waktu yang cukup mendampingi anak belajar, berikan suasana kepadanya agar waktu belajarnya menjadi "terkesan penting" dan teramat luar biasa. Aku tidak pelit menghambur-hamburkan pujian saat anakku pandai meraut pensil misalnya, atau menghadiahkan peluk cium yang hangat saat ia menunjukkan hasil ulangannya, apapun nilainya. Buatlah ia merasa penting dan dihargai saat ia menunjukkan kemauan belajarnya.
Yang paling repot, misalnya saat mau menjelang UTS dan semester, istriku berinisiatif bagi-bagi tugas (istriku memang hebat kalau urusan belajar anak), aku dimintanya mengetik seluruh kertas-kertas ulangan anakku untuk seluruh mata pelajaran, kemudian diprint. Malam sebelum ujian, tugas istrikulah yang mendampingi anakku belajar mengerjakan kertas-kertas ulangan yang sudah aku print tadi, tentunya dengan beberapa tambahan materi yang sudah disiapkan istriku. Meskipun istriku sedikit “rame”, namun hasilnya terlihat nyata, dalam beberapa mata pelajaran, anakku dapat nilai yang cukup signifikan.
Meraih kesuksesan pendidikan memang tidaklah mudah, membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah kerja sama orang tua dan saling menguatkan bahwa belajar itu penting. Nanti lama-lama anak merasa bahwa belajar itu sangat penting, sampai-sampai orang tuanya sampai “turun tangan” dan berlama-lama nemenin anak belajar. Mungkin yang selama ini salah (sekali lagi mungkin), orang tua kebanyakan secara tidak sadar kurang menganggap penting ilmu pengetahuan, misalnya jarang sekali orang tua yang menyisihkan bajet bulanannya untuk membeli buku-buku pengetahuan, jarang orang tua yang menemani anak belajar dan dan tidak rutin setiap hari menanyakan perkembangan anak belajar di kelas.
Berilah stigma positif kepada anak dengan selalu mengaitkan kegiatannya setiap saat pada ilmu pengetahuan, misalnya saat main bola—kita bisa cerita “mengapa benda bulat gampang menggelinding sedangkan benda berbentuk kotak tidak mudah menggelinding”, begitu saat turun hujan, kita bisa cerita tentang sirkulasi: uap-awan-hujan-sungai-laut-menguap, dan seterusnya. Tidak harus menguasai masalah untuk menjelaskan pengetahuan kepada anak-anak, saya yang pengetahuannya terbatas tentang ilmu eksakta, sebisa saya saja menjelaskan tentang suatu proses terjadinya sesuatu.

Rabu, 30 Maret 2011

Demi anak belajar, "apapun" coba dilakukan


Tuhan tidak memberikan makan siang gratis, maknanya adalah Tuhan tidak memberikan kecerdasan dan keberhasilan hidup anak-anak kita tanpa ada jerih payah dari kedua orang tuanya dan si anak itu sendiri. Prinsip ini aku pegang benar, aku dan istriku harus melakukan sesuatu agar anak-anakku merasa nyaman belajar. Seperti memfasilitasinya dengan meja belajar, rak buku, property penunjang belajar lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perhatian dan waktu yang cukup mendampingi anak belajar, berikan suasana kepadanya agar waktu belajarnya menjadi "terkesan penting" dan teramat luar biasa. Aku tidak pelit menghambur-hamburkan pujian saat anakku pandai meraut pensil misalnya, atau menghadiahkan peluk cium yang hangat saat ia menunjukkan hasil ulangannya, apapun nilainya. Buatlah ia merasa penting dan dihargai saat ia menunjukkan kemauan belajarnya.
Yang paling repot, misalnya saat mau menjelang UTS dan semester, istriku berinisiatif bagi-bagi tugas (istriku memang hebat kalau urusan belajar anak), aku dimintanya mengetik seluruh kertas-kertas ulangan anakku untuk seluruh mata pelajaran, kemudian diprint. Malam sebelum ujian, tugas istrikulah yang mendampingi anakku belajar mengerjakan kertas-kertas ulangan yang sudah aku print tadi, tentunya dengan beberapa tambahan materi yang sudah disiapkan istriku. Meskipun istriku sedikit “rame”, namun hasilnya terlihat nyata, dalam beberapa mata pelajaran, anakku dapat nilai yang cukup signifikan.
Meraih kesuksesan pendidikan memang tidaklah mudah, membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah kerja sama orang tua dan saling menguatkan bahwa belajar itu penting. Nanti lama-lama anak merasa bahwa belajar itu sangat penting, sampai-sampai orang tuanya sampai “turun tangan” dan berlama-lama nemenin anak belajar. Mungkin yang selama ini salah (sekali lagi mungkin), orang tua kebanyakan secara tidak sadar kurang menganggap penting ilmu pengetahuan, misalnya jarang sekali orang tua yang menyisihkan bajet bulanannya untuk membeli buku-buku pengetahuan, jarang orang tua yang menemani anak belajar dan dan tidak rutin setiap hari menanyakan perkembangan anak belajar di kelas.
Berilah stigma positif kepada anak dengan selalu mengaitkan kegiatannya setiap saat pada ilmu pengetahuan, misalnya saat main bola—kita bisa cerita “mengapa benda bulat gampang menggelinding sedangkan benda berbentuk kotak tidak mudah menggelinding”, begitu saat turun hujan, kita bisa cerita tentang sirkulasi: uap-awan-hujan-sungai-laut-menguap, dan seterusnya. Tidak harus menguasai masalah untuk menjelaskan pengetahuan kepada anak-anak, saya yang pengetahuannya terbatas tentang ilmu eksakta, sebisa saya saja menjelaskan tentang suatu proses terjadinya sesuatu.

Senin, 28 Maret 2011

RUMAH YANG BERSIH TANPA KOTORAN




Konon ada satu cerita dimana seorang istri yang sering mengeluhkan rumahnya selalu kotor, si ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 2 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya. Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu : "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan" Ibu itu kemudian menutup matanya. "Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah.
Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya. Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi". Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya. "Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb. "Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?" Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah. Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya. Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang : Saya BERSYUKUR;

# Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
# Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
# Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
# Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi
# Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
# Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
# Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
# Untuk bunyi azan subuh jam setengah lima pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun.

Saat anak-anakku terlelap

Minggu, 27 Maret 2011

ROAD TO PENGADILAN JAKARTA TIMUR





Aku tiba di pengadilan Jakarta Timur jam 8.00, baru masuk belokan saja orang-orang berebut menawarkan cabut surat tilang, begitu masuk ke tempat prkir (pinggir jalan) lebih banyak lagi yang menawarkan “Bisa dibantu pak, cabut surat tilang”, kepada salah seorang dari mereka setengah berbisik saya bilang “Pak, saya ini guru saya ingin membuktikan bahwa saya inign membuktikan bahwa saya masih bias jujur. Si bapak calo itu Cuma tersenyum kecut. Barangkali dia piker, nih orang idealis dan sok jujur. He he he.
Jam 8.10 pintu pengadilan belum dibuka, masih ada orang senam di pelataran parkir, hm hm hm, dari foto di atas orang-orang antri mengambil nomor urut. Jadi setelah mengambil nomor urut kita tinggal menunggu panggilan, kata si abang calo yang saya temui di lapangan parkir, di sinilah celah dimana calo dan oknum pengadilan bermain, misalnya mendahulukan nomor yang berasal dari calo. Seorang calo memang bebas dan nyata ada di pengadilan ini, bahkan jumlahnya nyaris sama banyak dengan orang yang mengurus tilang sesungguhnya.
Tentang pemilihan hari Jumat sebagai hari siding tilang, saya juga tidak mengerti apa sebabnya pengadilan dan polisi memilih hari tersebut, padahal waktu siding sangat sempit karena biasanya jam 11.00 orang-orang sudah mempersiapkan sholat Jumat. Kalau boleh menduga, mungkin di sini juga celah kongkalingkong antara calo dan pengadilan, karena waktu yang sempit orang-orang lebih memilih cara “lewat belakang” agar lebih cepat, tanpa harus bersidang yang hal-hal urutan bersidang. Jika demikian, Negara ini memang sengaja mengatur system agar orang-orang jujur tidak mendapat tempat.
Saya melihat orang-orang berkerumun di depan pintu pagar sambil teriak-teriak, tapi tetap saja orang-orang pengadilan asyik senam, mungkin maksudnya kok orang penadilan tidak sensitive ya, denger-denger untuk hari ini saja ada 5000 tilangan.
Saat pintu dibuka, hal yang pertama dilakukan adalah menukar surat tilang dengan nomor antrian, aku dapet antrian 3486, tapi orang yang antri di belakang aku dapet antrian kepala 1000 an, tapi memang katanya itu bukan nomor urut tapi nomor panggilan.

Saambil menunggu dipanggil, aku sengaja menulis nomor antrian di lengan kiri besar-besar agar mudah terlihat, bias dibayangkan ketika ada antrian 5000 orang, rasanya amat mustahil panggilan akan di ulang lagi, di ulang lagi. Terdengar dari kerumunan antrian pembicaraan-pembicaran berisi kekecawaan terhadap polisi lalu lintas yang dengan berbagai alasan meminta damai ditempat sampai ratusan ribu rupiah, jadi sebenarnya orang-orang yang dating ke pengadilan ini adalah orang-orang yang memang tidak mampu bernegoisasi dengan polisi lalu lintas di jalanan.
Termasuk aku sendiri saat ditilang, nampaknya polisi ragu-ragu menulis surat tilang, sepertinya ia ingin damai ditempat menunggu aku bayar berapa, indikasi ini aku perhatikan saat orang-orang yang sudah diberhentikan lebih dahulu disbanding aku selesai juga, sementara aku yang baru ditilang karena aku bilang secara tegas “Pak tilang aja, udah pak tilang aja” tidak sampai 5 menit aku sudah ngeloyor pergi membawa bukti surat tilang.
Inilah potret penegakan hokum di negeri ini, Negara tidak berpihak kepada pencari keadilan, ketika orang sudah berbuat jujur ingin membayar denda kepada Negara sepertinya dipersulit,
Ada setengah menunggu, nomorku dipanggil, hanya diperlakukan berbeda aku disuruh menghadap ke meja, katanya SIM ku belum dikirim, secepatnya aku menuju ke ditlantas ke bagian GAKKUM, mengapa aku di pingpong begini. AKu ingin minta klarifikasi mengapa 2 minggu tidak cukup untuk mengantarkan surat tilang itu ke pengadilan. Dari kejadian ini seolah ada pembenaran bahwa ketika orang-orang harus berhadapan dengan polisi di jalan sebaiknya jalan “damainya” yang harus ditempuh. Sebab ketika orang harus mengikuti prosedur maka ia akan kesulitan, rugi banyak waktu dan capek perasaan. Inilah sebenarnya, lingkaran setannya, hokum diatur dijalankan sedimikian rupa, agar mempersulit orang mencari keadilan.
Setiba di kantor Ditlantas pelayanan Tilang GAKKUM , meski kelihatan tidak ramai, ada beberpa orang sedang menunggu surat tilangnya diproses, keluhannya sama ia dilempar dari pengadilan negeri untuk diminta ke ditlantas. Ada apa sih dengan kinerja polisi seperti ini? Tidak ada penjelasan yang bisa diberikan, apa yang dilakukan polisi memiliki pembenaran apapun itu. Apakah waktu 2 minggu tidak cukup untuk mengurus pengiriman barang bukti tilang? Berapa energi yang harus terbuang ketika kita dipingpong seperti ini?
Mengapa sesuatu yang sebenarnya gampang harus dipersulit? Mengapa polisi cari-cari kesalahan orang berkendara? Mengapa polisi terkadang lebih banyak menjebab orang berkendara dibanding mengarahkan pengendara?
Ada bapak-bapak yang dipingpong sampai 3 kali di pengadilan, ke mabes dan terkahir ke ditlantas.
Kesimpulannya gampangnya kata-kata bapak di sebelah: Kalo berhadapan dengan polisi di jalan lebih baik DAMAI saja daripada menjaga idealisme malah jadi nyusahin begini!

Selasa, 22 Maret 2011

Ibu yang kerja sift malem



Suatu malam saat kami terlelap, ada suara tangis dari tetangga sebelah, tangis seorang batita dari rengekan tangisnya ia ingin digendong oleh ibunya. Namun setahuku ibunya malam itu masuk kerja malam, yang ada suaminya. Mungkin saat itu si anak ingin digendong tengah pelukan ibunya. Rasanya hatiku miris mendengar rengekan tangis batita tersebut. Setahuku, anak tetangga sebelah memang terlihat sangat cengeng dan agak kurang sehat. Bagaimanapun ketika batita sering ditinggal oleh orang tuanya (baca: ibunya) maka pertumbuhan dalam banyak hal menjadi bermasalah. Aku bukan ahli psikologi, tapi rasanya asupan kasih sayang anak akan berkurang jauh saat sang ibu "ikut-ikutan" cari duit.
Berapa duit sih yang "si ibu" dapatkan ketika kerja siang malam meninggalkan keluarganya? Menurut saya, sebagai orang tradisional (baca: kuno) bahwa fungsi masing-masing dikembalikan sesuai dengan alamiahnya, yaitu laki-laki kerja di luar rumah dan sang istri bekerja di rumah, dari sudut pandang saya yang kuno tadi, cara inilah yang sebenarnya membuat angin harmoni terus berhembus dalam sebuah rumah tangga.
Dengan banyak punya waktu di rumah, dengan naluri keibuan sang ibu bisa menjadi teman bermain, mengontrol apa yang dilakukan anak dan sang ibu men-charge ruang-ruang hati anak dengan hal-hal positif.
Jika sang ibu sering pergi, apalagi malam hari, saat semua harus kumpul maka ruang-ruang hati anak akan selalu ekesepian, dan si anak sulit mencari tambatan hatinya. Saya melihat beberapa kenalan yang kedua orang tuanya bekerja, pertumbuhan psikologis anak menjadi tidak maksimal, misalnya saat anak pulang sekolah, anak jadi sering menghabiskan waktunya di tempat-tempat permainan, saat bergaul ucapan mereka sulit dikontrol tanpa pengawasan orang tua. (Bersambung)

Sabtu, 19 Maret 2011

Hidup dengan diabetes



Pemandangan foto di atas, aku ambil saat perjalanan menuju ke tempat kerja, aku beberapa kali bertemu padanya. Melihat kaki sebelah kirinya aku menduga ia menderita kencing manis, sebab kakinya seperti membusuk yang dibungkus plastik kresek hitam. Nampak ia tertatih-tatih menjalankan motornya saat jalanan berlubang, ada rasa haru dan bangga pada semangatnya menjalani hidupnya.
Mungkin kepergiaannya setiap pagi untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Penyakit yang dideritanya tidak menghalanginya untuk mencari penghidupan. Dari peristiwa di atas menjari pelajaran berharga buat saya, mulai dari sekarang menjalani pola hidup dan makan yang sehat. Mungkin jangan berlebih-lebihan ketika makan, belajar menahan diri untuk makan yang enak-enak dan lezat-lezat. Tapi apa bisa?

Jumat, 18 Maret 2011

Mengelola marah



Ada yang bilang marah itu mnimbulkan energi luar biasa. Contohnya saat lagi biasa terkadang orang males angkat2 meja dan kursi. Tapi saat lagi marah meja dan bangku yang berat itu seolah jadi ringan. Saat lagi biasa, seorang wanita terkadang malas mencuci piring, tapi kalau marah (tepatnya sebel) terkadang tanpa terasa piring yang dicuci selesai dicuci tanpa terasa.
Secara normal setiap orang pernah memiliki rasa marah, tapi ada ruang pelajaran yang bisa kita ambil dari rasa marah. Saat kita diminta untuk melakukan ini itu dengan diberi ancaman marah, kita jadi malas melakukan permintaan itu. Sikap permusuhan membuat kita menjauh. Yang timbul adalah sikap perlawanan dan melakukan kontra produktif. Singkatnya rasa permusuhan tidak dapat timbal balik dari apa yang kita harapkan.
Propaganda untuk memengaruhi orang lain tidak dapat dilakukan dengan kemarahan. Orang lain akan tunduk dan patuh secara palsu jika didahului dengan kemarahan. Begitu sikap kita ketika menghadapi murid, saya baru terpikir sikap marah kita kepada murid nyatanya tidak pernah membuat murid berubah. Semakin sering dimarahi semakin jadi perilakunya. Muncul didiri anak rasa tidak simpati dan sikap tidak percaya kepada gurunya. Kalau kata Tanri Abeng, sikap sebuah hubungan didasari atas saling ketidakpercayaan maka hubungan itu menjadi nihil adanya.
Sekarang bagaimana caranya membangun hubungan yang menimbulkan rasa saling percaya. Pertama, mungkin, harus kemauan membuka diri atas peran dan fungsinya masing-masing jangan saling mengintervensi pekerjaan, saling memuji dan mengritik secara sopan dan mungkin juga saling menahan diri untuk gampang emosi.

Rabu, 16 Maret 2011

Ayo main, buat kamar ayah berantakan...



Anakku yang kedua, Hanif, sedang lincah-lincahnya, maret ini ia genap berusia satu tahun. Giginya sudah tumbuh delapan, atas 4 bawah 4. Ia sudah mulai (lancar) berjalan,dari mulai 5 tindakan, sampai sekarang sudah 9 - 15 tindakan. Menurutku ia termasuk cepat bisa berjalan. Karena senang berekslorasi, nyaris semua bagian rumahku pernah dijelajahinya, juga sekaligus diberantakinnya, tampaknya ia mulai mengenali suara jika benda-benda dijatuhkan, yang paling rajin dijatuhkan buku-buku kakaknya, Billy, di rak meja belajarnya. Terkadang kakaknya bereaksi kesal melihat buku-bukunya diberantakin. Tapi aku selalu mengingatkan, bahwa waktu kecil dulu sang kakak juga berbuat hal serupa.
Untuk urusan berantakan ini, aku paling senang jika Hanif bermain di kamarku. Aku diam saja ketika anakku berantakin sekumpulan CD, banting-banting HP (untungnya HP model sekarang tahan banting ya),dan ngetok-ngetok keyboard dan mos. Anak memang peniru ulung, ia kerap kali memutar-mutar scrol mos dan memerhatikan lampu mos yang menyala, juga yang paling sering ia lakukan sebelum membanting ia meletakkan HP di telinganya sambil bergumam "ah...ah" lucu sekali.
Pengalaman dari anakku yang pertama, memang setiap periode perkembangan bayi ada masa-masa saat sang bayi melakukan sesuatu yang berbeda, usia 8 bulanan dengan baby walkernya ia kerap menuju galon air dan senang menekan kerannya agar airnya keluar, aku tidak melarangnya melainkan aku sendiri yang menutup lubang kerannya, meskipun ditekan sedemikian rupa air itu tetap tidak keluar. Kemudian ada periode mengenali batang dengan cara memasukan ke dalam mulut, dan ini yang paling repot, aku dan istri ekstra hati-hati mengawasi barang-barang yang dipegangnya (Terima kasih ya Alloh, Engkau telah menjaganya tidak menelan benda-benda berbahaya).
Mungkin, nanti saya akan tulis hal-hal unik yang terjadi dalam periode perkembangan berikutnya.

Selasa, 15 Maret 2011

Hukum dunia: Yang Baik Segalanya Tak Gampang Dilakukan.



Menjelang dua minggu sebelum siswa kelas 9 mengikuti ujian akhir sekolah. Aku sempat bercanda di kelas bahwa dalam 2 minggu ini saya akan bicara terbalik. Maksudnya? Ya saya akan bicara terbalik dari guru-guru lain saat nasehatin siswa. Saya katakan, “Tolong buku-buku tentang ujian nasional JANGAN dibaca” atau “Kalau perlu sering-seringlah keluar malam” atau “Jika ada uang jangan beli buku, main PS aja”. Saya mengatakan itu bukan tanpa maksud.Pertama, hampir setiap guru yang masuk kelas selalu nasehatin yang baik-baik, jangan ini, jangan itu! Tetapi kenyataannya tetap saja siswa melakukan kebalikan dari apa yang dinasehatin. Coba perhatikan ketika siswa kebut-kebutan di jalan pasti orang tuanya pernah bilang “Nak, naik motor jangan ngebut ya?”, ketika siswa nongkrong sama teman-teman malam hari, orang tuanya juga pernah bilang “Bentar lagi mau ujian, jangan keluar malam tidak karuan!”, atau saat pulang sekolah (tau malah bolos sekolah) siswa main PS, pasti orang tuanya juga pernah nasehatin, “Pulang sekolah langsung ke rumah jangan main PS!”. Kenyataannya siswa cenderung melawan arus dari apa yang dinasehatin orang tuanya.
Kembali ke judul di atas, kadang saya berpikir mengapa ya sesuatu yang bermakna baik selalu tidak gampang dikomunikasikan dan komunikannya tidak gampang buru-buru melaksanakannya. Menuyuruh siswa baca buku tidak gampang dipatuhi, menyuruh siswa siswa belajar bersama menjelang ujian tidak dilaksanakan, menyuruh solat, mengaji tidak buru-buru dilaksanakan siswa.
Saat jam pelajaran berakhir, siswa diharapkan sholat zuhur berjamaah, kalau tidak guru piketnya bawa pentungan siswa masih duduk-duduk ngobrol. Coba siswa disuruh melakukan hal sebaliknya, spontan siswa melakukannya “Sepulang sekolah siswa jangan sholat tapi langsung main PS ya?” Menurutku disinilah letak keadilan Tuhan, disinilah kompetisi hidup dimulai, kalau semua orang gampang dinasehatin dan segera melaksanakan nasehat itu menurutku malah warna-warni hidupnya malah tidak kelihatan. (bersambung)

Senin, 14 Maret 2011

Dahli dan Puber Kedua



Nama lengkapnya Dahli Ahmad, aku biasa memanggilnya Aki Dahli, 3 tahun belakangan ini ia memasuki fase puber kedua dalam bidang pendidikan. Ada beberapa alasan. Pertama dia yang menggagas bedirinya kelas unggulan di MTs Attaqwa 03 babelan. Kedua dialah satu-satunya guru yang yang sedang menyelsaikan kuliah S2 nya di Bandung (Bandingkan dengan saya yang takut dites TOEFEL). Ketiga, yang sekarang lagi dilakukannya adalah deklarasi Ikatan Guru Indonesia cabang kota dan kabupaten Bekasi. Setiap hari hp nya selalu berdering-dering membicarakan hal-ikhwal tentang deklarasi tersebut.
Puber kedua ini saya maksudkan ketika usia bertambah tua tapi semangat untuk memajukan pendidikan tidak kendur, tapi malah tambah semangat mengajar makin tinggi dengan menggunakan metode dan media yang tepat.
Aku sangat mengapresiasi berdirinya IGI di Bekasi, paling tidak organisasi ini bisa dijadikan kompetitor yang sehat bagi organisasi guru yang sudah ada seperti PGRI dan PGM. Dalam beberapa kali aku pernah terlibat kegiatan IGI pusat, ternyata luar biasa, tokoh-tokohnya masih muda, idealismenya masih genuine dan selalu mengedepankan ide-ide baru dalam pendidikan.
Dalam tahap awal aku yang sebenarnya paling rajin mendorong lahirnya IGI di Bekasi dan rekan Aki Dahli jadi ketuanya. Namun kesibukanku "di rumah" membuatku cukup melakukan hal-hal kecil mensupport teman-teman di IGI Bekasi.
Semoga keberadaan organisasi baru ini teman-teman tetap idealis tanpa tergerus kepentingan sesaat dan tetap konsisten memunculkan ide-ide baru dalam memajukan pendidikan di nusantara ini. Sekali lagi selamat.

Penjual nasi goreng dan istrinya



Suatu sore saat aku sedang menunggu cuci motor. Aku memerhatikan sepasang suami istri sedang mendorong gerobak nasi goreng, rupanya mereka hendak menggelar dagangannya. Rutinitas mereka dimataku luar biasa. Aku menyaksikan pemandangan bagaimana sang suami memasang bambu-bambu kerangka tenda, bambu-bambu yang besar ia pasang sendiri, ditarik, diulur, sampai memasang penutup tenda, menurutku pekerjaan itu tidak gampang. Sementara istrinya asyik menurunkan perkakas pembuatan nasi goreng, mengelap kaca gerobak, menyusun piring, mengatur bangku-bangku, memasang taplak, mengatur bumbu-bumbu pada kotaknya dan seterusnya. Suatu rutinitas yang dilakukan secara harmoni dan kerjasama pada tugasnya masing-masing.
Sekali lagi menurutku pekerjaan itu tidak gampang. Untuk berbenah saja mereka membutuhkan waktu satu jam! Dan itu diulanginya saat harus membongkar lapak dagangannya saat menjelang dini hari. Bayangkan saat kita terlelap mereka dengan telaten harus menyusun kembali gerobak dagangannya dan kembali esok hari melakukan rutinitas serupa.
Bagaimana jika daganganya sepi pembeli? Ini yang menurutku yang luar biasa juga. Mereka melakukan itu dengan ramai pemeblei atau sepi pembeli. Kata seorang teman, itulah warna-warni hidup bekerja. Kita harus bersyukur terhadap semua pekerjaan yang kita lakukan. Mungkin menurut kita pekerjaan anu capek dan pekerjaan ini tidak capek. Sebenarnya semua pekerjaan sama, tinggal tergantung kita bagaimana cara melakoninya secara harmoni.

Minggu, 13 Maret 2011

Minta maaf tapi tidak menyesal.



Kok bisa ya? Ya bisa. Seorang kawan bercerita bahwa sekolah tempat dia mengajar di Jakarta tidak memperbolehkannya lagi menjadi pengawas ujian nasional tahun ini. Alasannya karena dia pernah mempermasalahkan siswa yang tidak hadir pada saat ujian nasional berlangsung. Menurutnya ketidakhadiran siswa bisa dimengerti jika siswa itu sakit atau ada uzur lainnya, tapi siswa tersebut ternyata telah berhenti sejak kelas dua. Entah alasan apa kepala sekolahnya tetap “menghidupkan” ijazah tersebut dengan menganggap hadir siswa tersebut dan kertas ujiannya diisi panitia.
Kawan saya ini jika dianggap salah oleh sekolah dia meminta maaf tapi dia katakan bahwa dia tidak menyesal melakukan itu. Niatnya Cuma satu: dia ingin menerapkan prinsip-prinsip kejujuran bukan hanya dimulut.
Saya simpati pada idealisme dan prinsip yang dipegang kawan saya itu. Terkadang amat jelas terjadi, justru orang yang sangat paham agama yang justru melakukan praktik-praktik tersebut. Kawan saya ini, ketika saya tanya kenapa tidak mengikuti arus saja dia menjawab, “Saya punya 2 anak balita, saya mau menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dalam mendidik, dan itu saya mulai dari diri saya sendiri”.