Sabtu, 09 April 2011

Ini masih cerita tentang pendidikan anak



Ini masih cerita tentang pendidikan anak. Ada 2 keyakinan yang saya pastikan benar-benar adanya. Pertama, bahwa sesuatu yang baik tidak mudah diraih, harus melewati lika-liku perjuangn dulu. Seperti mencari ilmu, berupaya mencari rizki, mengajak orang lain berbuat dan sebagainya. Barangkali sudah sunnatullah kali ya, apa saja yang baik selalu gak gampang, tidak tiba-tiba ada tanpa bersusah payah.

Kedua, untuk membuat anak menjadi cerdas ternyata diperlukan kerja sama dan komitmen serta kerja keras yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Juga disertai pendampingan kedua orang tuanya. Sudah sunnatullah (sudah memang Alloh yang atur) bahwa mengajarkan kebaikan butuh usaha yang konsisten dan terus menerus. Misalnya menyuruh anak mengerjakan PR nya, padahal cuma beberapa kalimat, yang menurut kita, paling cuma membutuhkan beberapa menit untuk mengerjakannya. Tapi saya dan istri memerlukan waktu tidak kurang dari setengah jam untuk "bersandiwara" agar ia mau mengerjakan PR nya. Dalam hati saya sering berdecak kagum sama hukum Alloh, mengapa orang cerdas itu langka, mengapa orang berhasil itu sedikit, mengapa menjadi orang baik tidak gampang, karena memang Alloh secara alamiah menyeleksi dengan berbagai kesulitan saat menanamkan kebaikan itu. Coba bayangkan kalau menjadi pintar itu segampang membalik tangan, nantinya mencari pekerjaan itu jadi semakin sulit, karena yang melamar pekerjaan itu lulus tes semua.

Terkadang saya sebagai orang tua (juga pendidik) tidak fair, dengan membandingkan belajar anak dengan permainan, sering terlontar dalam ucapan kita "Kalau main aja baru semangat giliran belajar ogah-ogahan", saya pikir kita ini salah, jangan memberi stigma negatif bahwa bermain itu asyik sementara belajar itu susah kepada anak. Kalau stigma itu terus menerus kita suarakan, berarti ada pengingkaran psikologis anak. Lha orang dewasa seperti saya saja kalau disuruh memilih, saya pasti memilih yang asyik-asyik kok dibanding memilih yang susah-susah? Misalnya juga ada orang membandingkan: "giliran nonton aja orang pada ramai giliran ngaji aja sedikit", ini juga tidak fair. Menonton dan menghadiri pengajian adalah dua hal yang berbeda, tanya aja sama diri sendiri secara jujur, saya pasti memilih menonton daripada mengikuti pengajian yang penyajiannya kurang menarik.

Berarti hukum sunnatullah bekerja di sini. Sebagai perbandingan saja, sebuah acara yang memiliki rating tinggi di TV ternyata memiliki tim kratif yang jumlahnya sampai puluhan orang agar selalu muncul ide-ide segar setiap kali tayang. Kenapa kita sebagai orang tua dan guru tidak pernah berfikir seperti orang-orang TV. Bagaimana agar pelajaran yang kita berikan metodenya selalu baru, cara mendidik yang kita berikan selalu menarik di mata anak. Kenapa kita tidak rajin berfikir keras, menemukan ide-ide segar nan kreatif, agar makanan ilmu yang kita berikan tersaji secara menarik dan enak dinikmati. Namun yang terjadi, jauh panggang dari api. Kita inginnya anak-anak mau rajin belajar, tapi kita sendiri sukanya memberikan "menu ceramah" melulu setiap hari. Seperti acara TV, jangankan mendapat rating disukai pemirsa, produserpun tidak tertarik untuk menayangkan di TV nya.

Tidak adil dan tidak fair jika kita terus menerus membandingkan dua kutub yang berbeda. Bermain dan belajar atau menghadiri pengajian dan menghadiri konser musik. Kenapa tidak menjadi seperti yang dilakukan tim kreatif TV yang selalu muncul ide segar mengkolaborasikan keduanya, mencari titik tengah diantara keduanya. Seandainya ada bagian pahala untuk mereka, saya kira tim kreatif TV mendapat pahala dua kali lipat dibandingakn hamba Alloh lainnya. Karena, orang seperti mereka yang mampu menerjemahkan hukum sunnatullah, selalu berpikir kreatif, mencari jalan tengah dan mampu menerjemahkan keinginan ummat.

Akhirnya, sebagai orang tua, saya berkomitmen untuk terus menerus menggali ide dan mencari celah yang saya bisa gunakan untuk membuat anak rajin belajar. Pendampingan anak adalah bersifat mutlak, bukankah keteladanan kunci utama dalam pendidikan?

Senin, 04 April 2011

Belajar dari pehobi burung.



Minggu kemarin, saat mau pulang ke rumah, di marakash ada lomba kicau burung. Semua jenis burung dilombakan, murai, pentet, dan lain-lain (aku lupa jenis burung apa saja). Tapi yang aku mau diceritakan di sini adalah tentang sportif nya pehobi burung. Begini ceritanya, saat jenis burung dilombakan, masing-masing pehobi menaikkan sangkar burung di gantungan. Kemudian, para juri menilai burung-burung tersebut. Ada beberapa yang menarik dalam kegiatan ini, pertama tentang komposisi juri yang dinamakan juri “kicau burung” dan juri “kontrol”, tugas juri kicau mungkin semua orang sudah tahu. Tapi yang aku baru tahu adalah juri kontrol, juri ini berfungsi untuk mengatur dan memonitor juri-juri, apakah menjalankan tugasnya dengan adil atau tidak.
Hal yang menarik berikutnya, adalah tentang sportivitas para pemilik burung, saat juri sedang menilai burung-burung kesayangan mereka, para pemilik teriak-teriak agar juri juga mendengarkan burung mereka, ada suara sahut-sahutan mengatakan bahwa burungnyalah yang paling hebat, bahkan ada beberapa pemilik burung yang meliuk-liukan tangannya agar burungnya merespon, ada juga yang membawa peluit memancing burungnya berkicau.
Meski pemilik burung bersuara riuh, namun juri tetap terpengaruh dan tetap serius mengamati burung-burung yang ada. Menurutku hebat juga para juri burung ini, sebab jarak antara sangkar tidak lebih dari satu meter, hebatnya para juri bisa membedakan burung mana yang sedang berkicau, rumitnya menurutku ada burung pada saat berkicau malah mulutnya tidak terbuka. Tapi bagi seorang juri profesional, mereka sudah tahu burung-burung mana saja yang paling favorit.
Ketika penjurian selesai, para juri mengambil 2 bendera, merah dan biru, yang paling banyak ditancapkan bendera merah maka burung itulah yang akan menjadi juaranya. Pas begitu juri masing-masing meletakkan benderanya, dengan sportifnya tanpa ada suara-suara protes, tanpa suara ketidakpuasan masing-masing pemilik burung menurunkan burungnya. Sunyi sekali dan tidak ada nada protes sama sekali. Tidak ada pemilik burung yang ngotot sekali ingin menang. Kalah menang itu biasa, “Wah, pak namanya juga hobi, tidak ada gontok-gontokan, yang penting kalau sudah mendengar suara burung, entah burung siapa saja, rasa stress menjadi hilang”, begitu kata salah seorang pemilik burung saat aku wawancarai.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah menang atau kalau dalam pertandingan adalah biasa, kedepankan sikap sportivitas, pada pertandingan lomba burung ini menang bukan tujuan yang penting kebersamaan. Kapankah kita bisa mencontoh mereka?

Jumat, 01 April 2011

Suara Imam Sholat yang menyejukkan.



Aku baru saja selesai sholat jumat di masjid al-barkah alun-alun kota bekasi, sholat jumat kali meninggalkan kesan syahdu karena dipinpin oleh imam sholat yang suaranya sangat tartil dan menyejukkan, nampaknya sang imam bergelar al-hafiz, seorang yang memang menguasai cara pembacaan al-quran dengan tajwid yang tepat, dan hafal al-quran tentunya.
Rasanya rindu masjid di kampungku dipimpin oleh imam-imam muda bersuara bagus, sebab yang ada sekarang imam-imam sholatnya sudah sepuh dan kadang-kadang bersuara ngampos, karenanya giginya sudah ada yang bolong-bolong. Entah bagaimana, regenerasi imam sholat di masjid kampungku tidak terjadi, sebelum sang imam tua meninggal. Rasanya rasa khusu’nya tidak nambah-nambah kalau dipimpin oleh imam bersuara seperti orang bergumam.
Saya masih inget ucapan kyai noer alie saat acara haul di beberapa tempat, salah satu fatwanya beliau mengatakan kalau ada yang masih muda dan bersuara bagus, harusnya bacaan kisah maulid dibacakan oleh mereka bukan malah yang tua-tua (pada waktu itu langganan baca maulid orang yang sudah tua-tua semacam haji sedun, guru daud, mamang matih, kiyai tidak melihat tuanya atau sepuhnya melainkan vokal dan tahsin membacanya.

Relasi orang tua - anak



Membangun hubungan kakak beradik harus ditempa sejak dini, ini dilakukan karena persoalan membangun relasi kakak-adik tidak bisa dilakukan secara ujug-ujug--dibiarkan saja terjadi secara alamiah. Ketika si kakak merasa ada pesaing baru, banyak hak-haknya terkurangi, terbelah sebagian untuk adiknya. Dalam tahap awal saya sering katakan, “Kakak adalah anak pertama ayah dan dede adalah anak kedua ayah”, sering saya ulangi kata-kata tersebut. Atau kata-kata lainnya, “Kakak dan dede berasal dari rahim ibu yang sama, keluar dari vagina ibu”.
Terkadang, tanpa kita sadari hak-hak emosional anak tertua tidak lagi dia dapatkan seperti pelukan saat bangun tidur, cium pipi saat-saat tertentu dan ucapan olok-olok becaandaan saya kepadanya. Ritual wajib itu tiba-tiba berpindah kepada adiknya, perhatian kedua orang tuanya terasa nyata oleh si kakak. Pada masa transisi ini, ucapan-ucapan seperti di atas tadi saya ulang-ulangi setiap ada kesempatan berkumpul dengan anak-anak. Tanamkan bahwa adik baru bukan pesaing, bukan kompetitor . Saya selalu meminta pendapat kakaknya misalnya, “Kak, enaknya dede kita belikan mainan apa ya?” atau “Kak, menurut kakak dede suka es krim tidak?”. Dengan begini keberadaan kakak menjadi penting, dia merasa dibutuhkan orang tuanya. Mungkin kecil dulu, dia dihargai dengan dicium atau dipeluk, sekarang dihargai dengan cara dimintakan pendapatnya tentang sesuatu hal.
Mungkin saja yang terjadi selama ini, saat remaja mulai tidak betah di rumah, sering keluar malam dan bermain dengan teman-temannya tapi kontrol bisa jadi diakibatkan karena si remaja merasa tidak “dibutuhkan” orang tuanya, mereka hanya memberi ketika diminta anak. Jarang sekali orang tua menghargai anak dalam konteks meminta pendapat anaknya ketika orang tua ingin melakukan suatu hal.
Saat anak seusia Sekolah Dasar, saat sedang senang-senangnya mencoba hal-hal baru dan berpetualang, saya sempatkan di hari liburnya untuk ikut “nimbrung” bersama teman-teman mainnya membuatkan tempat “bersembunyi” atau tenda berkemah. Saya membantu teman-temannya mengumpulkan ranting dan daun pohon untuk membangun tendanya, saya sering memfasilitasi kebutuhan bermainnya dengan cara membelikan bahan bakar parafin dan meminjamkan tenda sekolah sebagai sarana bermainnya. Apapun saya lakukan agar anak betah di rumah, agar anak terpuaskan naluri dan imajinasi bermainnya. Saya memperlakukan anak saya, persis ketika saya waktu kecil dulu mengharapkan orang tua menemani bermain. Sebab ketika orang tua menjaga jarak--misalnya tidak mau berperan seperti “anak-anak” saat bermain bersamanya, maka bibit kesenjangan telah tersemai dan ini sangat hidden sekali. Si anak tidak pernah mengutarakan di depan orang tuanya. Operasi yang sangat sepi sekali. Tapi tiba-tiba bibit kesenjangan itu telah berubah menjadi bentuk buah “perlawanan” anak kepada orang tuanya. Melawan dalam kesepiannya.
Mengubah perilaku anak bukan pekerjaan instan, proses mendidiknya sama panjang dengan usianya, sepanjang usianyalah pendidikan itu diberikan. Sebab setiap umur tertentu setiap anak mempunyai kondisi yang berbeda, ada masa ketika anak menyukai suatu hal, ada masa ketika anak membenci suatu hal, ada masa ketika masa ketika anak mencoba ini itu, ada masa ketika anak merasa ingin mandiri dan seterusnya dan seterusnya. Satu periode saja kita tidak bisa mendampingi melewati periode-peruide tersebut, akan ada kesempatan yang hilang, akan ada masa “memberi warna” yang hilang.

Otonomi dan tidak otonomi, negeri dan bukan negeri.




Sering rasanya saya mendapatkan ketidakadilan dalam pendidikan, salah satunya adalah subsidi untuk sekolah negeri oleh pemerintah daerah. Padahal penduduk pribumi asli yang sebenarnya yang paling berhak menikmati pendidikan gratis di sekolah negeri, sebab penduduk pribumilah yang sebenarnya sejak awal pembayar pajak, pajak bumi bangunan, pajak kendaraan dan pajak lainnya. Namun, penduduk pribumi yang mayoritas belajarnya di madrasah justru tidak menikmati pendidikan gratis tersebut. Saya mendapatkan kenyataan justru orang-orang pendatanglah yang paling dominan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, merekalah sebenarnya yang paling menikmati subsidi pendidikan ini. Cuma apa mau dikata? Penduduk pribumi menganggap sekolah itu ya di madrasah, masih ada stigma negatif terhadap sekolah negeri (padahal jaman sudah berubah ya?)
Penduduk pribumi semakin termajinalkan karena mendapatkan pendidikan di madrasah yang kekurangan fasilitas, pemerintah daerah karena alasan otonomi daerah hanya mengucurkan anggaran pendidikan ke sekolah negeri yang nota bene murid-muridnya dominan bukan penduduk pribumi. Apa yang salah dengan madrasah? Hingga pemerintah menjaga jarak, padahal mereka sama-sama pembayar pajak di daerahnya. Mengapa perundang-undangan diterapkan secara kaku, mengapa pemerintah tidak mengambil inisiatif memasukkan anggaran bantuan madrasah dalam APBD?
Kedepannya harusnya dicari pemerintah daerah yang lebih berpihak kepada madrasah, pemerintah daerah yang mengakui peran madrasah sebagai salah satu pilar pendidikan di daerah.