Jumat, 24 Juni 2011

Sepenggal Cerita Wali Kelas


Ini cerita sepenggal jadi wali kelas, sabtu besok bersama siswa kelasku berencana berkunjung ke Istana Negara dan Planetarium, semuanya sudah kuurus sendiri dari mulai pemesanan mobil, tiket dan akomodasinya. Namun karena keterbatasan ekonomi ada beberapa anakku yang tidak ikut. Di pikir-pikir kalau alasannya ekonomi, sampai diminta berkali-kalipun tetap saja tidak bisa ikut. Aku sebenarnya mengharapkan mereka ikut semua.
Aku tanya satu-satu, mengapa tidak ikut bergabung. Jawabannya hampir sama karena alasan ekonomi. Akhirnya aku ambil keputusan, mereka semua harus ikut, dengan hanya membayar berapa saja yang mereka mampu. Dan saat aku komfirmasi kepada siswa lainnya, mereka dengan ikhlas menerimanya. Perasaanku jadi lega....

Rabu, 22 Juni 2011

Tilang Jilid 2

Jauh-jauh hari ada temen yang bilang, sekarang lagi musim razia "Hati-hati banyak razia, makanya siapin aza lembar 20 ribuan di lepitan STNK" nanti kalau ada razia pasti cepet lolos deh".
Bener juga kemarin tanggal 21 Juni 2011, aku dicegat razia, "Selamat siang, mana STNK dan SIM anda!" kata seorang petugas. Aku berikan buru-buru STNK nya, "Ini apaan?" serunya. "Udah damai aja pak, saya mau buru-buru" kataku. Jawabnya, "Aduh gimana ya, tapi terima kasih ya?". Aku buru-buru ngeloyor pergi. he he he
Lho kemana integritas itu?
Bener juga kata seorang teman "Kalau bisa damai lebih baik damai di tempat aja, daripada ngurus sidang jadi makan hati, lagian emang itu juga yang para petugas harapkan kok?" he he he

Rabu, 15 Juni 2011

Berikhtiar Mencerdaskan anak

Sudah 3 hari ini anakku yang pertama sedang mengikuti ujian kenaikan kelas, sudah 3 malam pula istrik u dengan sabar dan ketegasannya melatih soal-soal materi pelajaran yang diujikan. Dalam kaitan ini saya mencoba melakukan ikhtiar sebagai berikut:
Pertama, saya membantu mengetikkan soal-soal ulangan harian dan mid semesternya nanti anakku diminta mengisi soal-soal yang ada didampingi ibunya. Kedua¸ menciptakan suasana yang kundusif diantaranya menyiapkan alat tulis, penghapus, memberlakukan jam malam (artinya dengan alasan apapun tidak boleh keluar rumah pada malam hari) dan yang lebih penting mengkondisikan suasana hatinya untuk selalu gembira dan tanpa tekanan.
Kami berharap anakku mendapatkan nilai yang wajar dan kami berupaya mendampinginya saat-saat seperti ini. Kami sebagai orang tua selalu punya keyakinan bahwa “Tidak ada sesuatu datang secara tiba-tiba, tanpa usaha”, karenanya kami berikhtiar semampu yang kami bisa. Kalaupun nanti nilainya tidak memuaskan itu soal lain, dalam hati kami pencapaian nilai bukan segala-galanya, tapi yang lebih penting adalah menyiapkan sarana dan kondisi agar tumbuh kesadaran anak untuk bisa belajar.
Untuk seorang siswa kelas 1 sekolah dasar, 10 mata pelajaran yang diujikan adalah lebih dari cukup, rasanya kami saja sebagai orang tua susah mengajarkan kesepuluh materi itu.
Sebagai perbandingan di kelas satu madrasah, setahu saya jumlah pelajarannya bisa dua kali lipat, pelajaran umum ditambah pelajaran-pelajaran agama. Pernahkah dipertimbangkan aspek psikologis dan sosiologis anak ketika baru seusia itu diperkenalkan pelajaran yang sangat banyak? Pada usia belia, anak mestinya dipernakalkan pada pelajaran-pelajaran dasar seperti membaca dan berhitung serta sedikit mengasah logika. Tapi entahlah, mungkin buat mereka “Lebih baik tahu banyak meski sedikit-sedikit daripada tahu secara mendalam pada pelajaran yang sedikit”.

Minggu, 12 Juni 2011

Lama-lama aku bertambah tua.

Suatu kali aku meraba kulit tanganku, secara iseng aku perhatikan ternyata kulit tanganku mulai mengendur, kalau aku pencet pakai jari ternyata kulit-kulitku menuju keriput. Aku ingat-ingat februari kemarin umurku genap 40 tahun, “Aku sudah mulai tua sekarang”. Pada suatu kesempatan kepada seorang teman sekolah SMP ku aku berujar “Nif, lihat kulit tangan-tangan kita sekarang mulai kendor dan wajah-wajah kita sudah berubah lebih tua” (padahal wajahku sebelum 40 pun sudah kelihatan lebih tua).
Saat mencukur kumis (sebenarnya tidak pas disebut kumis, karena Cuma tumbuh beberapa helai) aku melihat wajahku, lama-lama aku sadar kalau sebenarnya wajahku tuh jelek, apalagi sudah berumur 40 an. Terkadang aku juga bingung, kok bisa ya wajah jelek begini bisa punya istri dan menikah. Aku mulai melihat tanda-tanda keriput di wajahku, dipinggir hidung atau di atas alis, dari sisi manapun wajahku tidak menarik.
Terkadang lucu juga memang, aku masih merasa berumur 20 an atau 30 an, tanpa melihat bahwa sesungguhnya tubuh dan wajahku sudah berubah, dari yang tadinya jelek menjadi bertambah jelek.
Makanya aku bingung ketika orang rumah cemburu kepadaku, “Siapa juga yang masih mau dengan pria berumur 40 an dan wajah yang jelek?”

Terapi rekam, untuk anakku.




Suatu kali anakku menangis (karena ngantuk) yang sulit didiamkan, sudah berbagai cara ditempuh untuk mendiamkan. Akhirnya cara terakhir aku tempuh, biasanya aku mengambil kamera perekam sebagaimana aku lakukan dulu pada kakaknya. Aku rekam gaya dan suaranya menangis, kemudian aku replay dan diperdengarkan kepadanya kemudian. Biasanya dia akan terdiam karena merasa aneh ada suara yang mirip suaranya.
Meski cara ini tidak selalu sukses, tapi sejenak bisa membuatnya diam. Terkadang aku mencari cara-cara yang tidak lazim untuk membuat anak beralih perhatiannya. Dan cara itu bisa menghentikan tangisnya tanpa harus menyakiti anak.
Untuk kakaknya lain lagi. Aku selalu membuat surat perjanjian atau rekaman perjanjian untuk memberi pelajaran bagaimana berkomitmen tentang perjanjian. Sering, kita, orang tua ngomelin sambil meminta janji anak, “Kak mandi nanti, kalau tidak mandi nanti tidak dibeliin es krim”, atau “Kalau tidak belajar, nanti tidak usah jalan-jalan naik motor”. Itu janji dimulut tanpa tertulis, coba lihat hasilnya pasti mengecewakan, “Janji tinggal janji” kata orang.
Seringkali aku mengajak anakku ke tempat kerja (percetakan), batu beberapa menit dia sudah mengajak pulang biasanya kita bilang “Tadi tidak usah ikut kalau minta pulang” dan akhirnya kita mengalah mengantarkannya pulang meski pekerjaan belum selesai. Suatu kali saat dia minta ikut aku siapkan rekaman perjanjian, maksudnya aku menyiapkan MP3 player untuk merekam suara janjinya, “Kakak boleh ikut ayah tapi tidak boleh buru-buru minta pulang, sekarang ayo janji sama ayah pake suara nanti ayam rekam”. Hasilnya sangat efektif, setiap dia mulai kelihatan tidak betah aku mengingatkannya “Ingat janji kamu, nanti ayah putar rekamannya ya?”, biasanya dia mengerti dan ikut menemaniku merampungkan pekerjaan.
Selanjutnya cara seperti ini sering aku gunakan, setiap kali diminta sesuatu dia kurang merespon aku buru-buru ambil pulpen dan menuliskan perjanjian, biasanya sebelum kertas itu digantung di tembok kamarnya, ia sudah kooperatif mau melaksanakan tugasnya. Ternyata anakpun memiliki sikap kesatria dan memiliki komitmen memegang teguh sebuah perjanjian. Asal tentu saja, kita sebagai orang tua benar-benar berkomitmen pula melaksanakan perjanjian yang kita buat. Jadi jangan mengharapkan anak mau melaksanakan perjanjiannya jika kita sendiri sering ingkar janji, betatapun kecil dan sepelenya janji itu.

Jumat, 10 Juni 2011

Menikmati jadi orang tua




Sudah 2 hari ini anakku yang berumur 15 bulan lagi cengeng, semalam beberapa kali terbangun dan menangis, entah apa sebabnya, padahal suhu badannya normal, hidungnya tidak mampet, juga tidak kehausan. Secara bergiliran aku dan istriku mencoba menarik perhatiannya supaya tangisnya berhenti, tapi tidak buru-buru berhenti. Istriku melakukan sholat dan aku membaca bacaan suci yang aku hafal, ada kemajuan meski sesekali nangisnya kambuh lagi.
Tapi betatapun anakku rewel aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga emosi, meski sesekali ngomel juga. Pada orang tua yang memiliki batita memang sering sering mengalami sindrom baby blues, situasi dimana terjadi konflik emosi saat anak rewel dan menuntut perhatian lebih orang tuanya.
Foto di atas sebenarnya tidak ada hubungan dengan cerita di sini, tapi saat tulisan ini dibuat, anakku yang pertama sedang ketawa-ketiwi saat sedang asyik bermain komputer dan anakku yang kedua tertarik dengan suara musik maher zain yang membuatnya terkantuk-kantuk dan sekarang sedang tidur pulas di sebelahku. Terkadang memang sepintas kita menjadi sangat emosional ketika anak rewel dan menangis. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa dibanding dengan rewelnya anak-anak kita jauh jauh lebih banyaknya tidak rewelnya. Dalam hitungan saya serewel-rewelnya anak menangisnya tidak akan lebih dari 20 menit, selebihnya adalah minta gendong biasa.
Jadi nikmatilah menjadi orang tua!

Kala matahari bersinar, kala itu pula kehidupan baru menyongsong



Seberapapun perasaan hati meruyak, yang paling enak dilakukan tetap berpikir optimis dan berusaha sekuat tenaga berfikir positif. Yakinilah bahwa apa yang akan dan telah terjadi merupakan sentuhan dari Yang Maha Kuasa, dari kita bangun tidur sampai kita tidur lagi tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Sebagai manusia kita hanya aktor yang melakoni sebuah grand design Yang Maha Kuasa. Kita hanya dari bagian titik yang mewarnai kehidupan. Bersyukurlah ketika hidup kita penuh warna, penuh dinamika, berbagai perasaaan datang silih berganti, tidak monoton, sebagai tanda ada napas dalam kehidupan kita.

Selama matahari pagi muncul di ufuk timur, selama itu pula ada kehidupan baru setiap harinya. Kehidupan yang harus kita isi dengan rutinitas dan corak perilaku yang memberi nilai tambah agar diri menjadi lebih dewasa. Bukankah sebilah keris akan bertambah nilainya jika semakin sering diasah dan ditempa?