Selasa, 06 September 2011

Suatu Sore di Tempat Pemancingan Galatama

Sore hari menjelang magrib, dalam perjalanan pulang aku berkesempatan mampir di pemancingan galatama, kata tukang mancing pemancingan galatama ini adalah pemancingan esklusif karena dua hal: Pertama, si pemancing membayar mahal dibanding tempat pemancingan regular, kedua hasil pancingannya tidak boleh dibawa pulang. Cukup aneh memang kedengarannya. Tapi memang yang datang ke sini adalah pemancing-pemancing yang memang rata-rata dari orang-orang kaya, terlihat dari deretan mobil-mobil yang diparkirnya.
Selain itu pemancing galatama ini memang termasuk pemancang "manja", mengapa? Karena dari mulai memberi umpan dipancing dan menangkan serta menimbang dikerjakan oleh pembantu yang memang dibayar khusus untuk itu.
Setiap kali pemancing mendapatkan yang agak besar, ikan tersebut ditimbang oleh petugas dan diumumkan seberapa berat ikan yang diperolehnya. Dengar-denger menurut penuturan orang disebelah saya, bahwa sistem pemancingan ikan digalatama ini sistem taruhan, di pemilik kolam hanya mendapat jasa dari uang taruhan yang dikumpulkan. Kisaran taruhan dari ratusan hingga jutaan rupiah. 
Saya tidak mengerti, si pemancing menangguk kesenangan dari taruhan apa dari efek memancingnya. Kalau begini makna mancing yang sebenarnya sudah bergeser dari yang cuma menjalani hobi menjadi pasar taruhan. Tapi tidak tahulah, mungkin galatami di tempat lainya tidak seperti ini. Anda punya hobi memancing? Saran saya mancinglah itu sebagai hobi bukan sebagai ajang taruhan! Selamat memancing.

Kamis, 01 September 2011

Seorang ibu yang kurang waras dengan seorang anak balita

Kalau kita berkeliling di jalan banyak ditemui hal yang membuat merenung: Pertama, ada seorang perempuan kurang waras yang selalu ditemani anak kecilnya (kurang lebih 4 tahunan) kemanapun dia pergi, kalau perempuan itu sendiri mungkin aku tidak heran, tetapi bagaimana dengan putri kecilnya itu? Kok bisa ya, seharian berjalan kaki pergi tanpa arah dan tujuan. Bagaimana dengan makannya? Bagaimana dengan rasa capainya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang tentunya sangat sulit dijawab karena keberadaan orang tua yang hilang ingatan. Tapi satu yang mungkin, yaitu naluri seorang ibu. Aku yakin ketika Tuhan mengambil akal seseorang tapi tidak dengan naluri seorang ibu. Jelasnya, segila-gilanya orang orang tua, masih akan ada naluri orang tua ketika melihat anaknya sedang lapar. Menurut istriku, saat ketemu ibu itu di pasar kerap kali dimintakan makanan. Tragis memang, seorang anak yang sedang lucu-lucunya harus bergelut di jalanan bersama seorang ibu yang kurang waras? Siapa yang salah?