Jumat, 27 Agustus 2010

Sekali lagi tentang pendampingan anak belajar



Ini masih cerita tentang pendidikan anak. Ada 2 keyakinan yang saya pastikan benar-benar adanya. Pertama, bahwa sesuatu yang baik tidak mudah diraih, harus melewati lika-liku perjuangn dulu. Seperti mencari ilmu, berupaya mencari rizki, mengajak orang lain berbuat dan sebagainya. Barangkali sudah sunnatullah kali ya, apa saja yang baik selalu gak gampang, tidak tiba-tiba ada tanpa bersusah payah.

Kedua, untuk membuat anak menjadi cerdas ternyata diperlukan kerja sama dan komitmen serta kerja keras yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Juga disertai pendampingan kedua orang tuanya. Sudah sunnatullah (sudah memang Alloh yang atur) bahwa mengajarkan kebaikan butuh usaha yang konsisten dan terus menerus. Misalnya menyuruh anak mengerjakan PR nya, padahal cuma beberapa kalimat, yang menurut kita, paling cuma membutuhkan beberapa menit untuk mengerjakannya. Tapi saya dan istri memerlukan waktu tidak kurang dari setengah jam untuk "bersandiwara" agar ia mau mengerjakan PR nya. Dalam hati saya sering berdecak kagum sama hukum Alloh, mengapa orang cerdas itu langka, mengapa orang berhasil itu sedikit, mengapa menjadi orang baik tidak gampang, karena memang Alloh secara alamiah menyeleksi dengan berbagai kesulitan saat menanamkan kebaikan itu. Coba bayangkan kalau menjadi pintar itu segampang membalik tangan, nantinya mencari pekerjaan itu jadi semakin sulit, karena yang melamar pekerjaan itu lulus tes semua.

Terkadang saya sebagai orang tua (juga pendidik) tidak fair, dengan membandingkan belajar anak dengan permainan, sering terlontar dalam ucapan kita "Kalau main aja baru semangat giliran belajar ogah-ogahan", saya pikir kita ini salah, jangan memberi stigma negatif bahwa bermain itu asyik sementara belajar itu susah kepada anak. Kalau stigma itu terus menerus kita suarakan, berarti ada pengingkaran psikologis anak. Lha orang dewasa seperti saya saja kalau disuruh memilih, saya pasti memilih yang asyik-asyik kok dibanding memilih yang susah-susah? Misalnya juga ada orang membandingkan: "giliran nonton aja orang pada ramai giliran ngaji aja sedikit", ini juga tidak fair. Menonton dan menghadiri pengajian adalah dua hal yang berbeda, tanya aja sama diri sendiri secara jujur, saya pasti memilih menonton daripada mengikuti pengajian yang penyajiannya kurang menarik.

Berarti hukum sunnatullah bekerja di sini. Sebagai perbandingan saja, sebuah acara yang memiliki rating tinggi di TV ternyata memiliki tim kratif yang jumlahnya sampai puluhan orang agar selalu muncul ide-ide segar setiap kali tayang. Kenapa kita sebagai orang tua dan guru tidak pernah berfikir seperti orang-orang TV. Bagaimana agar pelajaran yang kita berikan metodenya selalu baru, cara mendidik yang kita berikan selalu menarik di mata anak. Kenapa kita tidak rajin berfikir keras, menemukan ide-ide segar nan kreatif, agar makanan ilmu yang kita berikan tersaji secara menarik dan enak dinikmati. Namun yang terjadi, jauh panggang dari api. Kita inginnya anak-anak mau rajin belajar, tapi kita sendiri sukanya memberikan "menu ceramah" melulu setiap hari. Seperti acara TV, jangankan mendapat rating disukai pemirsa, produserpun tidak tertarik untuk menayangkan di TV nya.

Tidak adil dan tidak fair jika kita terus menerus membandingkan dua kutub yang berbeda. Bermain dan belajar atau menghadiri pengajian dan menghadiri konser musik. Kenapa tidak menjadi seperti yang dilakukan tim kreatif TV yang selalu muncul ide segar mengkolaborasikan keduanya. Seandainya ada bagian pahala untuk mereka, saya kira tim kreatif TV mendapat pahala dua kali lipat dibandingakn hamba Alloh lainnya. Karena, orang seperti mereka yang mampu menerjemahkan hukum sunnatullah, selalu berpikir kreatif, mencari jalan tengah dan mampu menerjemahkan keinginan ummat.

Akhirnya, sebagai orang tua, saya berkomitmen untuk terus menerus menggali ide dan mencari celah yang saya bisa gunakan untuk membuat anak rajin belajar. Pendampingan anak adalah bersifat mutlak, bukankah keteladanan kunci utama dalam pendidikan?