Disini ada presiden, menteri-menteri dan
rakyat yang membayar pajak. Selama 15 tahun berkarir di dunia pendidikan,
baru 3 terakhir ini saya diberikan kesempatan jadi wali kelas, awalnya saya
mengira jadi wali kelas tugasnya Cuma satu, yaitu menulis raport! Di tahun
pertama mengemban tugas wali kelas, ternyata saya bisa belajar banyak hal,
salah satunya adalah ketika sang “wali kelas” bertindak bak layaknya “kepala
sekolah”, artinya wali kelas adalah embrio suatu saat nanti diberikan
kesempatan menjadi kepala sekolah.
Ideologi yang selama ini terhambat untuk
diterapkan di sekolah, bisa diterapkan di
lingkup yang lebih kecil, yaitu kelas. Sebagai wali kelas, saya
mengasumsikan kelas itu ibarat sebuah negara yang dipimpin oleh ketua kelas
sebagai presiden dibantu oleh menteri-menteri,
ada menteri keuangan, menteri
koperasi dan perdagangan, menteri komunikasi dan teknologi dan beberapa
menteri lainnya. Agar negara bisa membangun, saya menerapkan pengenaan pajak
yang besarnya telah ditentukan. Saya
selalu komunikasikan bahwa dari uang pajak
ini kita bisa membangun infrastruktur kelas dan fasilitas untuk keperluan
publik. Misalnya membuat hiasan dinding kelas, membeli perlengkapan kebersihan,
dan perlatan audio kelas.
Agar cadangan devisa negara bertambah,
perlu dicarikan dana tambahan diluar pajak, akhirnya cara membuka warung
menjadi pilihan, jumlah siswa yang membawa uang jajan adalah potensi yang perlu
digarap, kalaulah rata-rata siswa membelanjakan uang jajannya perhari 3000
rupiah, berarti ada potensi keuntungan yang bisa didapat. Dengan suntikan modal dari menteri keuangan,
menteri perdangan mulai merancang jenis-jenis makanan apa saja yang paling
banyak digemari, diadakanlah dengar pendapat untuk menerima usulan makanan dan
minuman apa saja yang bisa dijual di kantin kelas. Berbekal modal dari menteri
keuangan, menteri perdagangan dan staf nya berbelanja di agen makanan yang
kebetulan jaraknya beberapa puluh meter dari sekolah (Pasar Babelan). Mereka
menghitung modal dan harga jual yang layak, agar tertib saya minta mereka
mencatatkannya di buku khusus, setiap akhir kelas mereka menghitung uang yang
didapat dan langsung membelanjakannya untuk esok pagi.
Uniknya, barang dagangan itu tidak dijaga,
staf bidang perdagangan hanya menyediakan toples bekas sosis yang dilubangi
untuk tempat uang pembayaran, kalau memang siswa ingin uang kembalian, tinggal
ambil sendiri di toples tersebut. Saya tidak menyebutnya kantin kejujuran,
karena menyandang nama “kejujuran” terlalu berat. Sebagai Badan Usaha Milik
Kelas (BUMK) yang seluruh sahamnya 100% dimiliki oleh seluruh siswa, maka
setiap hari wajib setor keuntungan ke menteri keuangan untuk dijadikan devisa
negara.
Untuk menghitung jumlah pembeli dan
keuntungan disediakan buku catatan pembelian, setiap customer mencatatkan nama,
barang yang dibeli dan uang yang dibelanjakan sebelum pembelian barang
dilakukan. Dari catatan ini bisa dipantau sejauh mana ke-amanah-an staf
koperasi dan bayer melakukan transaksi.
Menuju sebuah negara maju, tentu diperlukan
rakyat yang cerdas ilmu dan cerdas spiritual. Untuk pengayaan spiritual , 15
menit setiap mengawali pelajaran jam pertama siswa dipandu membacakan kitab
suci sebanyak 2 halaman. Di saat yang sama, siswa diharuskan membawa air
mineral dari rumah/bisa dibeli di warung kelas, saat kitab suci dibacakan
wadah-wadah air mineral itu harus dalam keadaan terbuka (Saya tidak tahu
maksudnya mengapa jaman dahulu para dukun mengobati penyakit hanya dengan cara
membaca doa-doa di gelas berisi air, kemudian air itu diminumkannya kepada sang
pasien). Sampai suatu ketika saya membaca buku karangan Masaru Emoto, yang
berjudul “Terapi Air/HADO”, melihat foto-foto hasil penelitiannya layak dicoba
kebenarannya. Dalam keadaan terbuka, air mineral dalam kemasan ini seolah-olah
mendengarkan ayat-ayat suci. Setelah tadarusan, mereka saya anjurkan meminum
air yang diisi “ucapan-ucapan baik” tadi. Ya kalau tidak dapat kebaikannya,
minimal dapat membasuh tenggorokan yang kering sehabis membaca ayat-ayat baik
tadi.
Untuk memupuk rasa tenggang rasa, saya
mengadakan sosial day, yaitu kegiatan berbagi makanan satu sama lain, kegiatan
ini untuk mengasah rasa kepedulian siswa, siswa dibagi menjadi 2 kelompok, 1
kelompok diminggu pertama akan membagikan makanan kelompok 2, kelompok 2 juga
akan melakukan hal sama di minggu berikutnya. Sebagai tahap awal mereka akan
mencatatkan apa saja yang diberikan dan kepada siapa diberikan, nanti
ketika—katakanlah—rasa ikhlasnya sudah mencapai grade 6 maka siswa tidak perlu
mencatatkan apa saja yang sudah diberikan, pada grade 7 siswa tidak hanya
memberikan kepada teman-teman sekelas tetapi juga teman-teman dari kelas lain, pada grade 8 mereka akan saya ajak menyambangi
tempat-tempat berkumpulnya orang-orang penyandang masalah sosial untuk berbagi. Poin dari
kegiatan ini, tertanamnya rasa kepedulian pada sesama, rasa simpati dan empati
dapat tumbuh secara bersamaan. Pola pendidikan semacam inilah yang sebenarnya
yang dirindukan oleh siswa pelaku tawuran, pelaku bullying dan siswa yang diberi
stigma negatif oleh guru.
Selama ini, di kelas mereka hanya dijejali
segudang teori sebagaimanana yang dituntut kurikulum, murid harus menghabiskan target
pencapaian kurikulum. Padahal sebenarnya titik pencapaiannya hanya terhenti
pada nilai-nilai yang tinggi yang didapat siswa tapi memiliki jiwa yang
gersang, tingkat kepedulian sampai pada titik nadir. Yang terjadi adalah, siswa
menjadi cepat emosional, muncul kesenangan saat melakukan tindakan kekejian dan
hilangnya rasa empati kepada orang lain.
Kembali ke negara kecil tadi, saya berharap
dari upaya yang dilakukan di kelas, merupakan bentuk embrio saat sang murid
nanti berkiprah di masyarakat. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus
ditumbuhkan sifat-sifat baiknya, dengan cara dilatih dan dipraktikkan setiap
hari, setiap saat. Jaman sekarang ini, guru berlomba dengan pesatnya kemajuan
teknologi, berlomba mencari cara-cara kreatif agar model pengajaran di kelas
menjadi enak dan disenangi siswa. Itulah sebabnya, acara OVJ di Trans 7
kebanjiran iklan dan tetap eksis 5 tahun lebih, karena memiliki tim kreatif
yang tangguh, tim ini bekerja sungguh-sungguh mencari bahan, ide, metode agar
bahan lawakan (baca: pengajaran) menjadi tetap aptudet. Demikianpun guru, harus
menempuh cara luar biasa dan kalau perlu menabrak kurikulum agar kue pendidikan
yang disajikan di kelas tidak itu-itu saja. Saya sebut luar biasa, karena
sebagian besar umumnya model pendidikan di kelas selalu menggunakan model
verbal, guru dari awal sampai akhir menerangkan di depan kelas. Diperlukan,
keinginan yang luar biasa untuk berubah.
Muara dari model yang saya terapkan di
kelas ini adalah tumbuhnya pohon-pohon muda yang akar kejujurannya kuat
mencengkaram ke dalam tanah kepribadian, ia tidak tumbang oleh angin godaan
uang dan sejenisnya. Malah pohon muda yang tumbuh rindang bukan hanya
meneduhkan diri dan keluarganya sendiri, tetapi juga bisa meneduhkan orang lain
yang ingin berisitarahat di bawah rindangnya. Kelak ia akan menjadi pohon
harapan, pohon kehidupan yang menghidupi banyak orang.