Jumat, 19 Oktober 2012

NEGARA KETJIL ITU BERNAMA : KELAS 8.3


Disini ada presiden, menteri-menteri dan rakyat  yang membayar pajak.  Selama 15 tahun berkarir di dunia pendidikan, baru 3 terakhir ini saya diberikan kesempatan jadi wali kelas, awalnya saya mengira jadi wali kelas tugasnya Cuma satu, yaitu menulis raport! Di tahun pertama mengemban tugas wali kelas, ternyata saya bisa belajar banyak hal, salah satunya adalah ketika sang “wali kelas” bertindak bak layaknya “kepala sekolah”, artinya wali kelas adalah embrio suatu saat nanti diberikan kesempatan menjadi kepala sekolah.
Ideologi yang selama ini terhambat untuk diterapkan di sekolah, bisa diterapkan di  lingkup yang lebih kecil, yaitu kelas. Sebagai wali kelas, saya mengasumsikan kelas itu ibarat sebuah negara yang dipimpin oleh ketua kelas sebagai presiden dibantu oleh menteri-menteri,  ada menteri keuangan, menteri  koperasi dan perdagangan, menteri komunikasi dan teknologi dan beberapa menteri lainnya. Agar negara bisa membangun, saya menerapkan pengenaan pajak yang besarnya telah ditentukan.  Saya selalu komunikasikan bahwa  dari uang pajak ini kita bisa membangun infrastruktur kelas dan fasilitas untuk keperluan publik. Misalnya membuat hiasan dinding kelas, membeli perlengkapan kebersihan, dan perlatan audio kelas.
Agar cadangan devisa negara bertambah, perlu dicarikan dana tambahan diluar pajak, akhirnya cara membuka warung menjadi pilihan, jumlah siswa yang membawa uang jajan adalah potensi yang perlu digarap, kalaulah rata-rata siswa membelanjakan uang jajannya perhari 3000 rupiah, berarti ada potensi keuntungan yang bisa didapat.  Dengan suntikan modal dari menteri keuangan, menteri perdangan mulai merancang jenis-jenis makanan apa saja yang paling banyak digemari, diadakanlah dengar pendapat untuk menerima usulan makanan dan minuman apa saja yang bisa dijual di kantin kelas. Berbekal modal dari menteri keuangan, menteri perdagangan dan staf nya berbelanja di agen makanan yang kebetulan jaraknya beberapa puluh meter dari sekolah (Pasar Babelan). Mereka menghitung modal dan harga jual yang layak, agar tertib saya minta mereka mencatatkannya di buku khusus, setiap akhir kelas mereka menghitung uang yang didapat dan langsung membelanjakannya untuk esok pagi.
Uniknya, barang dagangan itu tidak dijaga, staf bidang perdagangan hanya menyediakan toples bekas sosis yang dilubangi untuk tempat uang pembayaran, kalau memang siswa ingin uang kembalian, tinggal ambil sendiri di toples tersebut. Saya tidak menyebutnya kantin kejujuran, karena menyandang nama “kejujuran” terlalu berat. Sebagai Badan Usaha Milik Kelas (BUMK) yang seluruh sahamnya 100% dimiliki oleh seluruh siswa, maka setiap hari wajib setor keuntungan ke menteri keuangan untuk dijadikan devisa negara.
Untuk menghitung jumlah pembeli dan keuntungan disediakan buku catatan pembelian, setiap customer mencatatkan nama, barang yang dibeli dan uang yang dibelanjakan sebelum pembelian barang dilakukan. Dari catatan ini bisa dipantau sejauh mana ke-amanah-an staf koperasi dan bayer melakukan transaksi.
Menuju sebuah negara maju, tentu diperlukan rakyat yang cerdas ilmu dan cerdas spiritual. Untuk pengayaan spiritual , 15 menit setiap mengawali pelajaran jam pertama siswa dipandu membacakan kitab suci sebanyak 2 halaman. Di saat yang sama, siswa diharuskan membawa air mineral dari rumah/bisa dibeli di warung kelas, saat kitab suci dibacakan wadah-wadah air mineral itu harus dalam keadaan terbuka (Saya tidak tahu maksudnya mengapa jaman dahulu para dukun mengobati penyakit hanya dengan cara membaca doa-doa di gelas berisi air, kemudian air itu diminumkannya kepada sang pasien). Sampai suatu ketika saya membaca buku karangan Masaru Emoto, yang berjudul “Terapi Air/HADO”, melihat foto-foto hasil penelitiannya layak dicoba kebenarannya. Dalam keadaan terbuka, air mineral dalam kemasan ini seolah-olah mendengarkan ayat-ayat suci. Setelah tadarusan, mereka saya anjurkan meminum air yang diisi “ucapan-ucapan baik” tadi. Ya kalau tidak dapat kebaikannya, minimal dapat membasuh tenggorokan yang kering sehabis membaca ayat-ayat baik tadi.
Untuk memupuk rasa tenggang rasa, saya mengadakan sosial day, yaitu kegiatan berbagi makanan satu sama lain, kegiatan ini untuk mengasah rasa kepedulian siswa, siswa dibagi menjadi 2 kelompok, 1 kelompok diminggu pertama akan membagikan makanan kelompok 2, kelompok 2 juga akan melakukan hal sama di minggu berikutnya. Sebagai tahap awal mereka akan mencatatkan apa saja yang diberikan dan kepada siapa diberikan, nanti ketika—katakanlah—rasa ikhlasnya sudah mencapai grade 6 maka siswa tidak perlu mencatatkan apa saja yang sudah diberikan, pada grade 7 siswa tidak hanya memberikan kepada teman-teman sekelas tetapi juga  teman-teman dari kelas lain,  pada grade 8 mereka akan saya ajak menyambangi tempat-tempat berkumpulnya orang-orang penyandang  masalah sosial untuk berbagi. Poin dari kegiatan ini, tertanamnya rasa kepedulian pada sesama, rasa simpati dan empati dapat tumbuh secara bersamaan. Pola pendidikan semacam inilah yang sebenarnya yang dirindukan oleh siswa pelaku tawuran, pelaku bullying dan siswa yang diberi stigma negatif oleh guru.
Selama ini, di kelas mereka hanya dijejali segudang teori sebagaimanana yang dituntut kurikulum, murid harus menghabiskan target pencapaian kurikulum. Padahal sebenarnya titik pencapaiannya hanya terhenti pada nilai-nilai yang tinggi yang didapat siswa tapi memiliki jiwa yang gersang, tingkat kepedulian sampai pada titik nadir. Yang terjadi adalah, siswa menjadi cepat emosional, muncul kesenangan saat melakukan tindakan kekejian dan hilangnya rasa empati kepada orang lain.
Kembali ke negara kecil tadi, saya berharap dari upaya yang dilakukan di kelas, merupakan bentuk embrio saat sang murid nanti berkiprah di masyarakat. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus ditumbuhkan sifat-sifat baiknya, dengan cara dilatih dan dipraktikkan setiap hari, setiap saat. Jaman sekarang ini, guru berlomba dengan pesatnya kemajuan teknologi, berlomba mencari cara-cara kreatif agar model pengajaran di kelas menjadi enak dan disenangi siswa. Itulah sebabnya, acara OVJ di Trans 7 kebanjiran iklan dan tetap eksis 5 tahun lebih, karena memiliki tim kreatif yang tangguh, tim ini bekerja sungguh-sungguh mencari bahan, ide, metode agar bahan lawakan (baca: pengajaran) menjadi tetap aptudet. Demikianpun guru, harus menempuh cara luar biasa dan kalau perlu menabrak kurikulum agar kue pendidikan yang disajikan di kelas tidak itu-itu saja. Saya sebut luar biasa, karena sebagian besar umumnya model pendidikan di kelas selalu menggunakan model verbal, guru dari awal sampai akhir menerangkan di depan kelas. Diperlukan, keinginan yang luar biasa untuk berubah.
Muara dari model yang saya terapkan di kelas ini adalah tumbuhnya pohon-pohon muda yang akar kejujurannya kuat mencengkaram ke dalam tanah kepribadian, ia tidak tumbang oleh angin godaan uang dan sejenisnya. Malah pohon muda yang tumbuh rindang bukan hanya meneduhkan diri dan keluarganya sendiri, tetapi juga bisa meneduhkan orang lain yang ingin berisitarahat di bawah rindangnya. Kelak ia akan menjadi pohon harapan, pohon kehidupan yang menghidupi banyak orang.