Selasa, 06 September 2011

Suatu Sore di Tempat Pemancingan Galatama

Sore hari menjelang magrib, dalam perjalanan pulang aku berkesempatan mampir di pemancingan galatama, kata tukang mancing pemancingan galatama ini adalah pemancingan esklusif karena dua hal: Pertama, si pemancing membayar mahal dibanding tempat pemancingan regular, kedua hasil pancingannya tidak boleh dibawa pulang. Cukup aneh memang kedengarannya. Tapi memang yang datang ke sini adalah pemancing-pemancing yang memang rata-rata dari orang-orang kaya, terlihat dari deretan mobil-mobil yang diparkirnya.
Selain itu pemancing galatama ini memang termasuk pemancang "manja", mengapa? Karena dari mulai memberi umpan dipancing dan menangkan serta menimbang dikerjakan oleh pembantu yang memang dibayar khusus untuk itu.
Setiap kali pemancing mendapatkan yang agak besar, ikan tersebut ditimbang oleh petugas dan diumumkan seberapa berat ikan yang diperolehnya. Dengar-denger menurut penuturan orang disebelah saya, bahwa sistem pemancingan ikan digalatama ini sistem taruhan, di pemilik kolam hanya mendapat jasa dari uang taruhan yang dikumpulkan. Kisaran taruhan dari ratusan hingga jutaan rupiah. 
Saya tidak mengerti, si pemancing menangguk kesenangan dari taruhan apa dari efek memancingnya. Kalau begini makna mancing yang sebenarnya sudah bergeser dari yang cuma menjalani hobi menjadi pasar taruhan. Tapi tidak tahulah, mungkin galatami di tempat lainya tidak seperti ini. Anda punya hobi memancing? Saran saya mancinglah itu sebagai hobi bukan sebagai ajang taruhan! Selamat memancing.

Kamis, 01 September 2011

Seorang ibu yang kurang waras dengan seorang anak balita

Kalau kita berkeliling di jalan banyak ditemui hal yang membuat merenung: Pertama, ada seorang perempuan kurang waras yang selalu ditemani anak kecilnya (kurang lebih 4 tahunan) kemanapun dia pergi, kalau perempuan itu sendiri mungkin aku tidak heran, tetapi bagaimana dengan putri kecilnya itu? Kok bisa ya, seharian berjalan kaki pergi tanpa arah dan tujuan. Bagaimana dengan makannya? Bagaimana dengan rasa capainya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lain yang tentunya sangat sulit dijawab karena keberadaan orang tua yang hilang ingatan. Tapi satu yang mungkin, yaitu naluri seorang ibu. Aku yakin ketika Tuhan mengambil akal seseorang tapi tidak dengan naluri seorang ibu. Jelasnya, segila-gilanya orang orang tua, masih akan ada naluri orang tua ketika melihat anaknya sedang lapar. Menurut istriku, saat ketemu ibu itu di pasar kerap kali dimintakan makanan. Tragis memang, seorang anak yang sedang lucu-lucunya harus bergelut di jalanan bersama seorang ibu yang kurang waras? Siapa yang salah?

Minggu, 07 Agustus 2011

SURAT PERJANJIAN

Waktu anakku Billy meminta mainan PSV (tepatnya PSV palsu tentunya) aku tidak tanggapi serius, selain harganya yang cukup untuk membeli beras 25 liter beras, aku merasa permainan itu bisa mengganggunya bermain dan belajar. Tapi kalau aku perhatikan "player" ini lebih sederhana dan permainannya pun cukup aman tidak seperti PS yang menurutku permainan "dewasa". Apalagi saat libur puasa seperti ini, saat dia tidak lagi ngemil dan mengundang teman-temannya bermain di rumah karena alasan puasa. Akhirnya aku luluh dan menawarkan permainan itu dengan satu perjanjian.
Aku menjanjikan membelikan permainan itu dengan menghitung mundur seminggu kebelakang, artinya ada waktu 7 hari untuk melihat keseriusannya memegang janjinya. Waktu aku tawarkan ke anakku perjanjian itu ia merespon dengan menuliskan sendirinya perjanjiannya begini kira-kira bunyinya : "Billy janji tidak akan nakalin adik dan berhenti bermain kalau saat belajar dan sholat".
Diktum perjanjiannya memang seperti yang aku minta, soalnya belakangan dia suka jahilin adiknya dan muncul ego seorang kakak pada adiknya, ya rasa cemburu begitulah. Terkadang sang kakak tidak senang diganggu atau dipinjam mainan oleh adiknya, ujung-ujungnya adiknya dinakalin. Aku berpikir moment ini pasti terjadi buat anak-anak seusia dia yang selama ini "jatah" kasih sayang orang tuanya sedikit direduksi oleh adiknya.
Perjanjian yang ditulis diselembar kertas kemudian ditempel di dekat meja belajarnya, aku senantiasa mengingatkannya saat ia mulai berulah terhadap adiknya, syukurlah dia selalu menahan diri mengingat perjanjian itu. Aku melihatnya terkadang jadi senyum sekaligus bangga saat ia berbaik-baik sama adiknya. AKu melihat banyak pelajaran yang bisa diambil dari proses ini. Pertama, anak kecil, berapapun usianya, jika dilatih menjalankan komitmen perjanjian ternyata anak tersebut berusaha akan bertanggung jawab menjalankannya. Kedua, ternyata dengan cara berdialog kita memecahkan persoalan yang diinginkan anak. Mungkin sebagian anak tertentu, saat meminta sesuatu inginnya saat itu juga minta dipenuhi, tidak bisa diulur-ulur. Mengapa demikian? Mungkin sebagai orang tua sering berjanji tapi pada saatnya tidak dipenuhi, jadi muncul rasa ketidakpercayaan pada omongan orang tuanya. Kelihatannya sepele, tapi sesungguhnya ini adalah bibit negatif yang menjadi ganjalan relasi orang tuan-anak. Ketiga, ketika ada perjanjian tertulis orang tua lebih mudah menagih janji anak berdasarkan komitmen yang dibuatnya.

Jumat, 24 Juni 2011

Sepenggal Cerita Wali Kelas


Ini cerita sepenggal jadi wali kelas, sabtu besok bersama siswa kelasku berencana berkunjung ke Istana Negara dan Planetarium, semuanya sudah kuurus sendiri dari mulai pemesanan mobil, tiket dan akomodasinya. Namun karena keterbatasan ekonomi ada beberapa anakku yang tidak ikut. Di pikir-pikir kalau alasannya ekonomi, sampai diminta berkali-kalipun tetap saja tidak bisa ikut. Aku sebenarnya mengharapkan mereka ikut semua.
Aku tanya satu-satu, mengapa tidak ikut bergabung. Jawabannya hampir sama karena alasan ekonomi. Akhirnya aku ambil keputusan, mereka semua harus ikut, dengan hanya membayar berapa saja yang mereka mampu. Dan saat aku komfirmasi kepada siswa lainnya, mereka dengan ikhlas menerimanya. Perasaanku jadi lega....

Rabu, 22 Juni 2011

Tilang Jilid 2

Jauh-jauh hari ada temen yang bilang, sekarang lagi musim razia "Hati-hati banyak razia, makanya siapin aza lembar 20 ribuan di lepitan STNK" nanti kalau ada razia pasti cepet lolos deh".
Bener juga kemarin tanggal 21 Juni 2011, aku dicegat razia, "Selamat siang, mana STNK dan SIM anda!" kata seorang petugas. Aku berikan buru-buru STNK nya, "Ini apaan?" serunya. "Udah damai aja pak, saya mau buru-buru" kataku. Jawabnya, "Aduh gimana ya, tapi terima kasih ya?". Aku buru-buru ngeloyor pergi. he he he
Lho kemana integritas itu?
Bener juga kata seorang teman "Kalau bisa damai lebih baik damai di tempat aja, daripada ngurus sidang jadi makan hati, lagian emang itu juga yang para petugas harapkan kok?" he he he

Rabu, 15 Juni 2011

Berikhtiar Mencerdaskan anak

Sudah 3 hari ini anakku yang pertama sedang mengikuti ujian kenaikan kelas, sudah 3 malam pula istrik u dengan sabar dan ketegasannya melatih soal-soal materi pelajaran yang diujikan. Dalam kaitan ini saya mencoba melakukan ikhtiar sebagai berikut:
Pertama, saya membantu mengetikkan soal-soal ulangan harian dan mid semesternya nanti anakku diminta mengisi soal-soal yang ada didampingi ibunya. Kedua¸ menciptakan suasana yang kundusif diantaranya menyiapkan alat tulis, penghapus, memberlakukan jam malam (artinya dengan alasan apapun tidak boleh keluar rumah pada malam hari) dan yang lebih penting mengkondisikan suasana hatinya untuk selalu gembira dan tanpa tekanan.
Kami berharap anakku mendapatkan nilai yang wajar dan kami berupaya mendampinginya saat-saat seperti ini. Kami sebagai orang tua selalu punya keyakinan bahwa “Tidak ada sesuatu datang secara tiba-tiba, tanpa usaha”, karenanya kami berikhtiar semampu yang kami bisa. Kalaupun nanti nilainya tidak memuaskan itu soal lain, dalam hati kami pencapaian nilai bukan segala-galanya, tapi yang lebih penting adalah menyiapkan sarana dan kondisi agar tumbuh kesadaran anak untuk bisa belajar.
Untuk seorang siswa kelas 1 sekolah dasar, 10 mata pelajaran yang diujikan adalah lebih dari cukup, rasanya kami saja sebagai orang tua susah mengajarkan kesepuluh materi itu.
Sebagai perbandingan di kelas satu madrasah, setahu saya jumlah pelajarannya bisa dua kali lipat, pelajaran umum ditambah pelajaran-pelajaran agama. Pernahkah dipertimbangkan aspek psikologis dan sosiologis anak ketika baru seusia itu diperkenalkan pelajaran yang sangat banyak? Pada usia belia, anak mestinya dipernakalkan pada pelajaran-pelajaran dasar seperti membaca dan berhitung serta sedikit mengasah logika. Tapi entahlah, mungkin buat mereka “Lebih baik tahu banyak meski sedikit-sedikit daripada tahu secara mendalam pada pelajaran yang sedikit”.

Minggu, 12 Juni 2011

Lama-lama aku bertambah tua.

Suatu kali aku meraba kulit tanganku, secara iseng aku perhatikan ternyata kulit tanganku mulai mengendur, kalau aku pencet pakai jari ternyata kulit-kulitku menuju keriput. Aku ingat-ingat februari kemarin umurku genap 40 tahun, “Aku sudah mulai tua sekarang”. Pada suatu kesempatan kepada seorang teman sekolah SMP ku aku berujar “Nif, lihat kulit tangan-tangan kita sekarang mulai kendor dan wajah-wajah kita sudah berubah lebih tua” (padahal wajahku sebelum 40 pun sudah kelihatan lebih tua).
Saat mencukur kumis (sebenarnya tidak pas disebut kumis, karena Cuma tumbuh beberapa helai) aku melihat wajahku, lama-lama aku sadar kalau sebenarnya wajahku tuh jelek, apalagi sudah berumur 40 an. Terkadang aku juga bingung, kok bisa ya wajah jelek begini bisa punya istri dan menikah. Aku mulai melihat tanda-tanda keriput di wajahku, dipinggir hidung atau di atas alis, dari sisi manapun wajahku tidak menarik.
Terkadang lucu juga memang, aku masih merasa berumur 20 an atau 30 an, tanpa melihat bahwa sesungguhnya tubuh dan wajahku sudah berubah, dari yang tadinya jelek menjadi bertambah jelek.
Makanya aku bingung ketika orang rumah cemburu kepadaku, “Siapa juga yang masih mau dengan pria berumur 40 an dan wajah yang jelek?”

Terapi rekam, untuk anakku.




Suatu kali anakku menangis (karena ngantuk) yang sulit didiamkan, sudah berbagai cara ditempuh untuk mendiamkan. Akhirnya cara terakhir aku tempuh, biasanya aku mengambil kamera perekam sebagaimana aku lakukan dulu pada kakaknya. Aku rekam gaya dan suaranya menangis, kemudian aku replay dan diperdengarkan kepadanya kemudian. Biasanya dia akan terdiam karena merasa aneh ada suara yang mirip suaranya.
Meski cara ini tidak selalu sukses, tapi sejenak bisa membuatnya diam. Terkadang aku mencari cara-cara yang tidak lazim untuk membuat anak beralih perhatiannya. Dan cara itu bisa menghentikan tangisnya tanpa harus menyakiti anak.
Untuk kakaknya lain lagi. Aku selalu membuat surat perjanjian atau rekaman perjanjian untuk memberi pelajaran bagaimana berkomitmen tentang perjanjian. Sering, kita, orang tua ngomelin sambil meminta janji anak, “Kak mandi nanti, kalau tidak mandi nanti tidak dibeliin es krim”, atau “Kalau tidak belajar, nanti tidak usah jalan-jalan naik motor”. Itu janji dimulut tanpa tertulis, coba lihat hasilnya pasti mengecewakan, “Janji tinggal janji” kata orang.
Seringkali aku mengajak anakku ke tempat kerja (percetakan), batu beberapa menit dia sudah mengajak pulang biasanya kita bilang “Tadi tidak usah ikut kalau minta pulang” dan akhirnya kita mengalah mengantarkannya pulang meski pekerjaan belum selesai. Suatu kali saat dia minta ikut aku siapkan rekaman perjanjian, maksudnya aku menyiapkan MP3 player untuk merekam suara janjinya, “Kakak boleh ikut ayah tapi tidak boleh buru-buru minta pulang, sekarang ayo janji sama ayah pake suara nanti ayam rekam”. Hasilnya sangat efektif, setiap dia mulai kelihatan tidak betah aku mengingatkannya “Ingat janji kamu, nanti ayah putar rekamannya ya?”, biasanya dia mengerti dan ikut menemaniku merampungkan pekerjaan.
Selanjutnya cara seperti ini sering aku gunakan, setiap kali diminta sesuatu dia kurang merespon aku buru-buru ambil pulpen dan menuliskan perjanjian, biasanya sebelum kertas itu digantung di tembok kamarnya, ia sudah kooperatif mau melaksanakan tugasnya. Ternyata anakpun memiliki sikap kesatria dan memiliki komitmen memegang teguh sebuah perjanjian. Asal tentu saja, kita sebagai orang tua benar-benar berkomitmen pula melaksanakan perjanjian yang kita buat. Jadi jangan mengharapkan anak mau melaksanakan perjanjiannya jika kita sendiri sering ingkar janji, betatapun kecil dan sepelenya janji itu.

Jumat, 10 Juni 2011

Menikmati jadi orang tua




Sudah 2 hari ini anakku yang berumur 15 bulan lagi cengeng, semalam beberapa kali terbangun dan menangis, entah apa sebabnya, padahal suhu badannya normal, hidungnya tidak mampet, juga tidak kehausan. Secara bergiliran aku dan istriku mencoba menarik perhatiannya supaya tangisnya berhenti, tapi tidak buru-buru berhenti. Istriku melakukan sholat dan aku membaca bacaan suci yang aku hafal, ada kemajuan meski sesekali nangisnya kambuh lagi.
Tapi betatapun anakku rewel aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga emosi, meski sesekali ngomel juga. Pada orang tua yang memiliki batita memang sering sering mengalami sindrom baby blues, situasi dimana terjadi konflik emosi saat anak rewel dan menuntut perhatian lebih orang tuanya.
Foto di atas sebenarnya tidak ada hubungan dengan cerita di sini, tapi saat tulisan ini dibuat, anakku yang pertama sedang ketawa-ketiwi saat sedang asyik bermain komputer dan anakku yang kedua tertarik dengan suara musik maher zain yang membuatnya terkantuk-kantuk dan sekarang sedang tidur pulas di sebelahku. Terkadang memang sepintas kita menjadi sangat emosional ketika anak rewel dan menangis. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa dibanding dengan rewelnya anak-anak kita jauh jauh lebih banyaknya tidak rewelnya. Dalam hitungan saya serewel-rewelnya anak menangisnya tidak akan lebih dari 20 menit, selebihnya adalah minta gendong biasa.
Jadi nikmatilah menjadi orang tua!

Kala matahari bersinar, kala itu pula kehidupan baru menyongsong



Seberapapun perasaan hati meruyak, yang paling enak dilakukan tetap berpikir optimis dan berusaha sekuat tenaga berfikir positif. Yakinilah bahwa apa yang akan dan telah terjadi merupakan sentuhan dari Yang Maha Kuasa, dari kita bangun tidur sampai kita tidur lagi tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Sebagai manusia kita hanya aktor yang melakoni sebuah grand design Yang Maha Kuasa. Kita hanya dari bagian titik yang mewarnai kehidupan. Bersyukurlah ketika hidup kita penuh warna, penuh dinamika, berbagai perasaaan datang silih berganti, tidak monoton, sebagai tanda ada napas dalam kehidupan kita.

Selama matahari pagi muncul di ufuk timur, selama itu pula ada kehidupan baru setiap harinya. Kehidupan yang harus kita isi dengan rutinitas dan corak perilaku yang memberi nilai tambah agar diri menjadi lebih dewasa. Bukankah sebilah keris akan bertambah nilainya jika semakin sering diasah dan ditempa?

Senin, 30 Mei 2011

Mencari Telur Ayam




Menyiasati waktu menjelang tidur menemani kedua anakku, aku mencari ide permainan. Timbullah ide permainan yang sesungguhnya sering aku mainkan dulu sewaktu kecil. Nama permainannya "Mencari Telur" mungkin yang dimaksud adalah telur bebek, alasannya orang di kampungku dulu banyak orang berternak bebek, termasuk keluargaku. Alat yang digunakan dalam permainan ini adalah selembar selimut dan lampu kamar yang dimatikan.
Aku dan kedua anakku bersembunyi dibawah kuruban selimut, dalam kegelapan anakku yang pertama memberi komando "Cari terlur....cari telur". Larlu kami masing-masing berfantasi mencari telur-telur di tengah kegelapan, ada yang mencari disela-sela betis, di pojok ketiak atau di sela-sela kaki. Lalu si kakak dan adiknya masing-masing mencari telur, mengumpulkan dan menghitungnya. Buat anakku permainan ini sangat menyenangkan, sebab dengan fantasinya mereka mengangaap dirinya seperti peternak telur yang memiliki bebek-bebek nakal, yang seenaknya bertelur di sembarang tempat.
Begitulah moment bermain dengan anakku, demi memuaskan fantasi bermainnya, aku sering berperan seperti anak seusia mereka. Buat anak seusia mereka, mereka butuh hanya satu hal: seorang teman yang enak diajak bermain!
Kata anakku yang pertama aku adalah penemu beberapa mainan baru, seperti mainan glinting-glinting, bi-bop, di luar ada apa?, pohon jatuh dan tentu saja bermain mencari telur. He he he ada-ada saja anakku ini.

Senin, 16 Mei 2011

TUHAN HANYA MENGHUKUM ORANG YANG SALAH



Suatu saat saya merenung tentang makhluk Tuhan yang bernama “nyamuk”. Betapa hebatnya nyamuk ini sampai manusia harus berpikir keras menemukan obat untuk mengusir dan membunuh nyamuk. Banyak penyakit yang menakutkan yang disebabkan nyamuk. Tapi pernahkan berpikir bahwa Tuhan menjadikan nyamuk sebenarnya untuk “memaksa” manusia untuk hidup bersih dan bertanggung jawab. Karena gigitan nyamuk berpindah dari satu kulit manusia ke kulit manusia lainnya. Namun, ada satu hal yang menurut saya “karena nyamuk jua Tuhan hanya menghukum orang salah”. Buktinya pada penyakit HIV – AIDS, suatu penyakit yang disebabkan (diantaranya) karena perilaku menyimpang homoseksual. Di saat penyakit ini bisa ditularkan oleh jarum suntik (biasanya sesama pengguna narkoba), karena jarum itu habis dipakai pada penderita HIV AIDS. Tetapi ajaibnya, nyamuk yang habis menghisap darah penderita HIV tidak dapat menularkan penyakita tersebut pada orang yang akan digigitnya. Tuhan hanya menghukum orang yang berperilaku menyimpang!

TUHAN SUDAH MENYIAPKAN SEGALANYA.



Air susu ibu (ASI), betapapun sulitnya ekonomi seseorang, ketika anak barunya lahir, sesaat itu pula sudah tersedia makanan terbaik ewat susu ibunya. Dalam air susu itu terdapat seluruh kriteria makanan bergizi yang dibutuhkan anak.

OBAT BIUS. Awalnya saya tidak mengira kalau obat bius itu dihasilkan dari tanaman opium, saya pikir obat bius itu dihasilkan dari proses kimiawi, ternyata Tuhan menciptakan aneka tanaman salah satunya tanaman opium, padahal saya yakin tanaman tersebut pasti ditanam di tanah dan diberi air dan pupuk yang sama dengan tanamn lainnya. Tapi mengapa, dari air dan tanah yang sama, kok bisa menghasilkan buah yang dapat membius seseorang. Hal ini semakin meneguhkan pernyataan “Setiap penyakit pasti ada obatnya”, obat biuslah yang dapat menyelematkan orang-orang dari rasa sakit saat mengalami operasi.

SANDAL KARET. Kok sandal karet? Iya, suatu sore saat saya tidur-tiduran di saung, saya memerhatikan sandal jepit yang dikenakan anak saya. Rasanya kok nyaman dipakai buat berlari. Pikir saya karena terbuat dari karet. Ya karet. Saya merenung, Tuhan hebat banget ya? Menyediakan getah dari pohon karet untuk dimanfaatkan manusia. Untuk kenyamanan manusia. Saya bisa bayangkan jika sendal anak saya terbuat dari bahan sekeras batu. Atau celana kolor anak saya tidak terbuat dari karet, setiap saat pasti kedodoran terus. Saya yakin, sebenarnya Tuhan amat sayang sama hamba-Nya, setiap alam seisinya benar-benar untuk bisa dimanfaatkan buat hamba-Nya.

SUMBER AIR. Saat saya mengunjungi proyek pengeboran minyak di daerah wates-tambun babelan, saya terkesima dengan cara kerja orang-orang yang bekerja di perminyakan. Kok bisa ya batu sekeras apapun bisa dihunjam dengan mata bor, dalamnya mencapai +/- 5000 meter. Saya terpikir, Tuhan ini Maha Hebat dengan meletakkan sumber minyak berada di bawah sumber air. Karena minyak merupakan kebutuhan sekundar dibanding kebutuhan air. Di sinilah hebatnya kekuasaan Allah dengan meletakkan sumber yang paling dibutuhkan manusia “hanya” beberapa meter dari permukaan bumi. Artinya ketika manusia menggali beberapa meter saja, niscaya kebutuhan air sudah bisa dipenuhi. Saya tidak bisa bayangkan seandainya sumber air diletakkan di perut bumi terdalam?

Hukum dunia: Yang Baik Segalanya Tak Gampang Dilakukan.



Menjelang dunia minggu sebelum siswa kelas 9 mengikuti ujian akhir sekolah. Aku sempat bercanda di kelas bahwa dalam 2 minggu ini saya akan bicara terbalik. Maksudnya? Ya saya akan bicara terbalik dari guru-guru lain saat nasehatin siswa. Saya katakan, “Tolong buku-buku tentang ujian nasional JANGAN dibaca” atau “Kalau perlu sering-seringlah keluar malam” atau “Jika ada uang jangan beli buku, main PS aja”. Saya mengatakan itu bukan tanpa maksud.Pertama, hampir setiap guru yang masuk kelas selalu nasehatin yang baik-baik, jangan ini, jangan itu! Tetapi kenyataannya tetap saja siswa melakukan kebalikan dari apa yang dinasehatin. Coba perhatikan ketika siswa kebut-kebutan di jalan pasti orang tuanya pernah bilang “Nak, naik motor jangan ngebut ya?”, ketika siswa nongkrong sama teman-teman malam hari, orang tuanya juga pernah bilang “Bentar lagi mau ujian, jangan keluar malam tidak karuan!”, atau saat pulang sekolah (tau malah bolos sekolah) siswa main PS, pasti orang tuanya juga pernah nasehatin, “Pulang sekolah langsung ke rumah jangan main PS!”. Kenyataannya siswa cenderung melawan arus dari apa yang dinasehatin orang tuanya.
Kembali ke judul di atas, kadang saya berpikir mengapa ya sesuatu yang bermakna baik selalu tidak gampang dikomunikasikan dan komunikannya tidak gampang buru-buru melaksanakannya. Menuyuruh siswa baca buku tidak gampang dipatuhi, menyuruh siswa siswa belajar bersama menjelang ujian tidak dilaksanakan, menyuruh solat, mengaji tidak buru-buru dilaksanakan siswa.
Saat jam pelajaran berakhir, siswa diharapkan sholat zuhur berjamaah, kalau tidak guru piketnya bawa pentungan siswa masih duduk-duduk ngobrol. Coba siswa disuruh melakukan hal sebaliknya, spontan siswa melakukannya “Sepulang sekolah siswa jangan sholat tapi langsung main PS ya?” Menurutku disinilah letak keadilan Tuhan, disinilah kompetisi hidup dimulai, kalau semua orang gampang dinasehatin dan segera melaksanakan nasehat itu menurutku malah warna-warni hidupnya malah tidak kelihatan. (bersambung kapan-kapan)

Hal yang aku takuti.



Satu hal yang paling aku takuti jika aku punya mobil adalah : Ketika bepergian, istriku naik di jok tengah. Aku nyetir sendirian di depan. (Makanya sampai sekarang belum punya mobil juga).

Sabtu, 14 Mei 2011

Jangan mengajarkan semua yang engkau ketahui, tapi ketahuilah semua yang engkau ajarkan!




Saya sering bergurau di depan siswa saat berada di kelas. “Nanti di tengah-tengah saya mengajar, terus ada kata-kata dari saya yang berisi nasehat tolong segera diinterupsi ya?” Jika ditanya siswa alasannya, saya mengatakan “Dulu saya pernah menjadi siswa seperti kamu, pada waktu itu saya sebel banget dari jam pertama sampai bel pulang semua guru kerjaannya nasehatin melulu, padahal dari sederet nasehat mereka (saya tahu) ada nasehat yang guru sendiri tidak menjalaninya. Terus apa hubungannya dengan interupsi tadi?
Dalam banyak hal saya tidak terlalu baik untuk ukuran seorang guru, karena saya menahan diri untuk tidak mengumbar nasehat kepada murid-murid saya. Saya memilih-memilih nasehat yang kira-kira saya sendiri menjalaninya, mengingat hanya sedikit yang saya jalanin, maka hanya sedikit yang saya nasehatin.
Tapi kalau dipikir-pikir lucu juga emang. Kenapa ya secara alamiah setiap orang punya naluri untuk “gatel” memberi nasehat.. Dan kadang-kadang materi nasehatnya seperti iklan obat yang diulang-ulang, itu lagi-itu lagi. Basi.
Terus kalau tidak memberi nasehat, mau ngapain lagi di kelas? Nah itu saya juga bingung. Padahal saya tidak terlalu percaya diri mengampu mata pelajaran yang saya ajarkan, buktinya nilai-nilai siswa kelas 9 yang saya ajarkan mayoritas nilainya di bawah nilai kelulusan. He he he. Saya saya juga bingung, setiap tahun selalu begitu, bahkan belakangan beberapa siswa harus mengulang UN mata pelajaran yang saya ampu. Padahal saat saya lihat soalnya, mayoritas soalnya sudah pernah saya ajarkan di kelas dan saat pengayaan materi.
Nah, kalo begitu berarti saya butuh nasehat agar saya bisa pintar dalam mengajar, siapa ya yang berminat? Mungkin anda?

Kemana “Terima kasih itu”.



Suatu kali saat mengunjungi kantor Pos menyelesaikan kewajiban bulanan, aku mendapatkan pelajaran ketika pegawai pak pos menyindir pengguna jasa jas yang habis menerima kiriman uang (aku melihat pak pos menghitung sekitar 5 jutaan sekian), dengan perkataan “Terima kasih pak…..”. Rasanya memang logis juga, ketika orang itu sudah dibantu mencairkan uang kiriman rasanya sangat elok ketika harus mengucapkan kata terima kasih kepada orang yang membantu kita.
Tapi benarkah kita secara sungguh-sungguh mempraktikkan kebiasaan baik itu? Pernahkah kita mencoba menularkan kebiasaan baik itu untuk anak-anak ideologis dan biologis kita? Rasanya ucapan ringan itu memang belum menjadi pakaian kita sehari-hari. Ketika dibantu anak mengambilkan air minum, ketika siswa kita membantu membelikan makanan, pernahkan kita mengiringinya dengan ucapan terima kasih.
Pendidikan memang berawal dari kebiasaan dan konsistensi. Pendidikan bukan didasarkan konsep ujug-ujug dan indoktrinasi. Penanaman sikap keberagamaan memang membutuhkan konsistenasi dan konsistensi. Pelajaran agama bukan untuk diceramahkan atau ritual perayaan ini itu. Tapi lebih dari itu adalah penanaman kebiasaan dan keteladanan.

Minggu, 08 Mei 2011

Workshop LA LIGHT INDIE MOVIE





Untuk ketiga kalinya, pada 29 April kemarin, aku berkesempatan mengikuti wrkshop LA LIGHT INDIE MOVIE yang diadakan di PPHUI Kuningan Jakarta. Dibanding tahun-tahun sebelummnya, tahun ini pesertanya membludak, panitia sampai memberi tambahan kursi ekstra. Seperti yang diungkap panitia, bahka keberhasilan penyelenggaraan kali ini tidak terlepas dari kesempatan dan dukungan yang optimal, sepertinya menjadi kunci mengapa LA LIGHT INDIE MOVIE selalu berhasil memikat para senias muda untuk turut serta mengikuti berbagai program yang ditawarkan. Kesempatan untuk berekspresi merealisasikan ide-idenya, kesempatan untuk bertemu dan berdiskusi langsung dengan pakar perfilman nasional, serta kesempatan untuk mendapatkan ilmu praktis dalam teknis pembuatan film tersedia di workshop film terbesar di Indonesia ini. Para pembicara yang mengisi program ini adalah terdiri dari Garin Nugroho, Hanung Bramantyo, Tora Sudiro, Laura Basuki, dan German Mintapraja. Pada kesempatan kali ini aku dapat kesempatan berbicara langsung dengan sineas Grain Nugroho dan Hanung Bramantyo, juga sekaligus aku mendapat sertifikat eksklusif dari keduanya (lihat foto). Thanks ya bang.

Sabtu, 07 Mei 2011

HUNTING DI STASIUN KERETA





Mengisi waktu sambil menunggu cetakan, memang terkadang cukup mengasyikkan, lokasi sentra cetakan yang dekat dengan stasiun kereta membuat aku sering berkunjung ke stasiun bekasi. Stasiun bekasi (sebelum saya berani naik motor ke Jakarta) sering saya singgahi sebelem meneruskan perjalanan ke glodok bekasi, aku akrab sekali dengan pedagang-pedagang kaki lima (sebelum dilarang) karena sambil menunggu kedatangan kereta kita bisa baca-baca koran gratis. Malah aku akrab dengan seorang pedagang kaki lima teman sekolahku dulu. Tapi, setelah pedagang kaki lima dilarang berjualan di stasiun, entah kemana perginya para pedagang-pedagang tersebut.
Kali ini dengan membawa perlengkapan huntingku aku membidik objek-objek yang ada di stasiun kereta. Lokomotif kereta dan rangkaiannya tentu saja menjadi golden objek bidikanku,sampai sekarang aku merasa aneh aja dengan teknologi perkeretaapian, secara detil aku memandangi roda-roda besar dan rem blok kereta, aku penasaran dengan cara kerja mesin-mesin tersebut.
Pada hunting kali ini aku tertarik dengan para pekerja yang mengukur balancing rel kereta, mereka bekerja merawat rel kereta demi keselamatan penumpang. setiap meter meereka mengukur rel kereta jika kedua batang rel berjarak saja beberapa centi mereka dengan sigap merapikan susunannya kembali. Saya tidak gaji mereka, namun sesungguhnya para penumpang kereta mesti berterima kasih kepada mereka. Sebab ditangan merekalah kelaikan rel kereta dibenahi.

Sabtu, 09 April 2011

Ini masih cerita tentang pendidikan anak



Ini masih cerita tentang pendidikan anak. Ada 2 keyakinan yang saya pastikan benar-benar adanya. Pertama, bahwa sesuatu yang baik tidak mudah diraih, harus melewati lika-liku perjuangn dulu. Seperti mencari ilmu, berupaya mencari rizki, mengajak orang lain berbuat dan sebagainya. Barangkali sudah sunnatullah kali ya, apa saja yang baik selalu gak gampang, tidak tiba-tiba ada tanpa bersusah payah.

Kedua, untuk membuat anak menjadi cerdas ternyata diperlukan kerja sama dan komitmen serta kerja keras yang luar biasa dari kedua orang tuanya. Juga disertai pendampingan kedua orang tuanya. Sudah sunnatullah (sudah memang Alloh yang atur) bahwa mengajarkan kebaikan butuh usaha yang konsisten dan terus menerus. Misalnya menyuruh anak mengerjakan PR nya, padahal cuma beberapa kalimat, yang menurut kita, paling cuma membutuhkan beberapa menit untuk mengerjakannya. Tapi saya dan istri memerlukan waktu tidak kurang dari setengah jam untuk "bersandiwara" agar ia mau mengerjakan PR nya. Dalam hati saya sering berdecak kagum sama hukum Alloh, mengapa orang cerdas itu langka, mengapa orang berhasil itu sedikit, mengapa menjadi orang baik tidak gampang, karena memang Alloh secara alamiah menyeleksi dengan berbagai kesulitan saat menanamkan kebaikan itu. Coba bayangkan kalau menjadi pintar itu segampang membalik tangan, nantinya mencari pekerjaan itu jadi semakin sulit, karena yang melamar pekerjaan itu lulus tes semua.

Terkadang saya sebagai orang tua (juga pendidik) tidak fair, dengan membandingkan belajar anak dengan permainan, sering terlontar dalam ucapan kita "Kalau main aja baru semangat giliran belajar ogah-ogahan", saya pikir kita ini salah, jangan memberi stigma negatif bahwa bermain itu asyik sementara belajar itu susah kepada anak. Kalau stigma itu terus menerus kita suarakan, berarti ada pengingkaran psikologis anak. Lha orang dewasa seperti saya saja kalau disuruh memilih, saya pasti memilih yang asyik-asyik kok dibanding memilih yang susah-susah? Misalnya juga ada orang membandingkan: "giliran nonton aja orang pada ramai giliran ngaji aja sedikit", ini juga tidak fair. Menonton dan menghadiri pengajian adalah dua hal yang berbeda, tanya aja sama diri sendiri secara jujur, saya pasti memilih menonton daripada mengikuti pengajian yang penyajiannya kurang menarik.

Berarti hukum sunnatullah bekerja di sini. Sebagai perbandingan saja, sebuah acara yang memiliki rating tinggi di TV ternyata memiliki tim kratif yang jumlahnya sampai puluhan orang agar selalu muncul ide-ide segar setiap kali tayang. Kenapa kita sebagai orang tua dan guru tidak pernah berfikir seperti orang-orang TV. Bagaimana agar pelajaran yang kita berikan metodenya selalu baru, cara mendidik yang kita berikan selalu menarik di mata anak. Kenapa kita tidak rajin berfikir keras, menemukan ide-ide segar nan kreatif, agar makanan ilmu yang kita berikan tersaji secara menarik dan enak dinikmati. Namun yang terjadi, jauh panggang dari api. Kita inginnya anak-anak mau rajin belajar, tapi kita sendiri sukanya memberikan "menu ceramah" melulu setiap hari. Seperti acara TV, jangankan mendapat rating disukai pemirsa, produserpun tidak tertarik untuk menayangkan di TV nya.

Tidak adil dan tidak fair jika kita terus menerus membandingkan dua kutub yang berbeda. Bermain dan belajar atau menghadiri pengajian dan menghadiri konser musik. Kenapa tidak menjadi seperti yang dilakukan tim kreatif TV yang selalu muncul ide segar mengkolaborasikan keduanya, mencari titik tengah diantara keduanya. Seandainya ada bagian pahala untuk mereka, saya kira tim kreatif TV mendapat pahala dua kali lipat dibandingakn hamba Alloh lainnya. Karena, orang seperti mereka yang mampu menerjemahkan hukum sunnatullah, selalu berpikir kreatif, mencari jalan tengah dan mampu menerjemahkan keinginan ummat.

Akhirnya, sebagai orang tua, saya berkomitmen untuk terus menerus menggali ide dan mencari celah yang saya bisa gunakan untuk membuat anak rajin belajar. Pendampingan anak adalah bersifat mutlak, bukankah keteladanan kunci utama dalam pendidikan?

Senin, 04 April 2011

Belajar dari pehobi burung.



Minggu kemarin, saat mau pulang ke rumah, di marakash ada lomba kicau burung. Semua jenis burung dilombakan, murai, pentet, dan lain-lain (aku lupa jenis burung apa saja). Tapi yang aku mau diceritakan di sini adalah tentang sportif nya pehobi burung. Begini ceritanya, saat jenis burung dilombakan, masing-masing pehobi menaikkan sangkar burung di gantungan. Kemudian, para juri menilai burung-burung tersebut. Ada beberapa yang menarik dalam kegiatan ini, pertama tentang komposisi juri yang dinamakan juri “kicau burung” dan juri “kontrol”, tugas juri kicau mungkin semua orang sudah tahu. Tapi yang aku baru tahu adalah juri kontrol, juri ini berfungsi untuk mengatur dan memonitor juri-juri, apakah menjalankan tugasnya dengan adil atau tidak.
Hal yang menarik berikutnya, adalah tentang sportivitas para pemilik burung, saat juri sedang menilai burung-burung kesayangan mereka, para pemilik teriak-teriak agar juri juga mendengarkan burung mereka, ada suara sahut-sahutan mengatakan bahwa burungnyalah yang paling hebat, bahkan ada beberapa pemilik burung yang meliuk-liukan tangannya agar burungnya merespon, ada juga yang membawa peluit memancing burungnya berkicau.
Meski pemilik burung bersuara riuh, namun juri tetap terpengaruh dan tetap serius mengamati burung-burung yang ada. Menurutku hebat juga para juri burung ini, sebab jarak antara sangkar tidak lebih dari satu meter, hebatnya para juri bisa membedakan burung mana yang sedang berkicau, rumitnya menurutku ada burung pada saat berkicau malah mulutnya tidak terbuka. Tapi bagi seorang juri profesional, mereka sudah tahu burung-burung mana saja yang paling favorit.
Ketika penjurian selesai, para juri mengambil 2 bendera, merah dan biru, yang paling banyak ditancapkan bendera merah maka burung itulah yang akan menjadi juaranya. Pas begitu juri masing-masing meletakkan benderanya, dengan sportifnya tanpa ada suara-suara protes, tanpa suara ketidakpuasan masing-masing pemilik burung menurunkan burungnya. Sunyi sekali dan tidak ada nada protes sama sekali. Tidak ada pemilik burung yang ngotot sekali ingin menang. Kalah menang itu biasa, “Wah, pak namanya juga hobi, tidak ada gontok-gontokan, yang penting kalau sudah mendengar suara burung, entah burung siapa saja, rasa stress menjadi hilang”, begitu kata salah seorang pemilik burung saat aku wawancarai.
Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah menang atau kalau dalam pertandingan adalah biasa, kedepankan sikap sportivitas, pada pertandingan lomba burung ini menang bukan tujuan yang penting kebersamaan. Kapankah kita bisa mencontoh mereka?

Jumat, 01 April 2011

Suara Imam Sholat yang menyejukkan.



Aku baru saja selesai sholat jumat di masjid al-barkah alun-alun kota bekasi, sholat jumat kali meninggalkan kesan syahdu karena dipinpin oleh imam sholat yang suaranya sangat tartil dan menyejukkan, nampaknya sang imam bergelar al-hafiz, seorang yang memang menguasai cara pembacaan al-quran dengan tajwid yang tepat, dan hafal al-quran tentunya.
Rasanya rindu masjid di kampungku dipimpin oleh imam-imam muda bersuara bagus, sebab yang ada sekarang imam-imam sholatnya sudah sepuh dan kadang-kadang bersuara ngampos, karenanya giginya sudah ada yang bolong-bolong. Entah bagaimana, regenerasi imam sholat di masjid kampungku tidak terjadi, sebelum sang imam tua meninggal. Rasanya rasa khusu’nya tidak nambah-nambah kalau dipimpin oleh imam bersuara seperti orang bergumam.
Saya masih inget ucapan kyai noer alie saat acara haul di beberapa tempat, salah satu fatwanya beliau mengatakan kalau ada yang masih muda dan bersuara bagus, harusnya bacaan kisah maulid dibacakan oleh mereka bukan malah yang tua-tua (pada waktu itu langganan baca maulid orang yang sudah tua-tua semacam haji sedun, guru daud, mamang matih, kiyai tidak melihat tuanya atau sepuhnya melainkan vokal dan tahsin membacanya.

Relasi orang tua - anak



Membangun hubungan kakak beradik harus ditempa sejak dini, ini dilakukan karena persoalan membangun relasi kakak-adik tidak bisa dilakukan secara ujug-ujug--dibiarkan saja terjadi secara alamiah. Ketika si kakak merasa ada pesaing baru, banyak hak-haknya terkurangi, terbelah sebagian untuk adiknya. Dalam tahap awal saya sering katakan, “Kakak adalah anak pertama ayah dan dede adalah anak kedua ayah”, sering saya ulangi kata-kata tersebut. Atau kata-kata lainnya, “Kakak dan dede berasal dari rahim ibu yang sama, keluar dari vagina ibu”.
Terkadang, tanpa kita sadari hak-hak emosional anak tertua tidak lagi dia dapatkan seperti pelukan saat bangun tidur, cium pipi saat-saat tertentu dan ucapan olok-olok becaandaan saya kepadanya. Ritual wajib itu tiba-tiba berpindah kepada adiknya, perhatian kedua orang tuanya terasa nyata oleh si kakak. Pada masa transisi ini, ucapan-ucapan seperti di atas tadi saya ulang-ulangi setiap ada kesempatan berkumpul dengan anak-anak. Tanamkan bahwa adik baru bukan pesaing, bukan kompetitor . Saya selalu meminta pendapat kakaknya misalnya, “Kak, enaknya dede kita belikan mainan apa ya?” atau “Kak, menurut kakak dede suka es krim tidak?”. Dengan begini keberadaan kakak menjadi penting, dia merasa dibutuhkan orang tuanya. Mungkin kecil dulu, dia dihargai dengan dicium atau dipeluk, sekarang dihargai dengan cara dimintakan pendapatnya tentang sesuatu hal.
Mungkin saja yang terjadi selama ini, saat remaja mulai tidak betah di rumah, sering keluar malam dan bermain dengan teman-temannya tapi kontrol bisa jadi diakibatkan karena si remaja merasa tidak “dibutuhkan” orang tuanya, mereka hanya memberi ketika diminta anak. Jarang sekali orang tua menghargai anak dalam konteks meminta pendapat anaknya ketika orang tua ingin melakukan suatu hal.
Saat anak seusia Sekolah Dasar, saat sedang senang-senangnya mencoba hal-hal baru dan berpetualang, saya sempatkan di hari liburnya untuk ikut “nimbrung” bersama teman-teman mainnya membuatkan tempat “bersembunyi” atau tenda berkemah. Saya membantu teman-temannya mengumpulkan ranting dan daun pohon untuk membangun tendanya, saya sering memfasilitasi kebutuhan bermainnya dengan cara membelikan bahan bakar parafin dan meminjamkan tenda sekolah sebagai sarana bermainnya. Apapun saya lakukan agar anak betah di rumah, agar anak terpuaskan naluri dan imajinasi bermainnya. Saya memperlakukan anak saya, persis ketika saya waktu kecil dulu mengharapkan orang tua menemani bermain. Sebab ketika orang tua menjaga jarak--misalnya tidak mau berperan seperti “anak-anak” saat bermain bersamanya, maka bibit kesenjangan telah tersemai dan ini sangat hidden sekali. Si anak tidak pernah mengutarakan di depan orang tuanya. Operasi yang sangat sepi sekali. Tapi tiba-tiba bibit kesenjangan itu telah berubah menjadi bentuk buah “perlawanan” anak kepada orang tuanya. Melawan dalam kesepiannya.
Mengubah perilaku anak bukan pekerjaan instan, proses mendidiknya sama panjang dengan usianya, sepanjang usianyalah pendidikan itu diberikan. Sebab setiap umur tertentu setiap anak mempunyai kondisi yang berbeda, ada masa ketika anak menyukai suatu hal, ada masa ketika anak membenci suatu hal, ada masa ketika masa ketika anak mencoba ini itu, ada masa ketika anak merasa ingin mandiri dan seterusnya dan seterusnya. Satu periode saja kita tidak bisa mendampingi melewati periode-peruide tersebut, akan ada kesempatan yang hilang, akan ada masa “memberi warna” yang hilang.

Otonomi dan tidak otonomi, negeri dan bukan negeri.




Sering rasanya saya mendapatkan ketidakadilan dalam pendidikan, salah satunya adalah subsidi untuk sekolah negeri oleh pemerintah daerah. Padahal penduduk pribumi asli yang sebenarnya yang paling berhak menikmati pendidikan gratis di sekolah negeri, sebab penduduk pribumilah yang sebenarnya sejak awal pembayar pajak, pajak bumi bangunan, pajak kendaraan dan pajak lainnya. Namun, penduduk pribumi yang mayoritas belajarnya di madrasah justru tidak menikmati pendidikan gratis tersebut. Saya mendapatkan kenyataan justru orang-orang pendatanglah yang paling dominan menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, merekalah sebenarnya yang paling menikmati subsidi pendidikan ini. Cuma apa mau dikata? Penduduk pribumi menganggap sekolah itu ya di madrasah, masih ada stigma negatif terhadap sekolah negeri (padahal jaman sudah berubah ya?)
Penduduk pribumi semakin termajinalkan karena mendapatkan pendidikan di madrasah yang kekurangan fasilitas, pemerintah daerah karena alasan otonomi daerah hanya mengucurkan anggaran pendidikan ke sekolah negeri yang nota bene murid-muridnya dominan bukan penduduk pribumi. Apa yang salah dengan madrasah? Hingga pemerintah menjaga jarak, padahal mereka sama-sama pembayar pajak di daerahnya. Mengapa perundang-undangan diterapkan secara kaku, mengapa pemerintah tidak mengambil inisiatif memasukkan anggaran bantuan madrasah dalam APBD?
Kedepannya harusnya dicari pemerintah daerah yang lebih berpihak kepada madrasah, pemerintah daerah yang mengakui peran madrasah sebagai salah satu pilar pendidikan di daerah.

Kamis, 31 Maret 2011

Memberi Dukungan Belajar Anak



Tuhan tidak memberikan makan siang gratis, maknanya adalah Tuhan tidak memberikan kecerdasan dan keberhasilan hidup anak-anak kita tanpa ada jerih payah dari kedua orang tuanya dan si anak itu sendiri. Prinsip ini aku pegang benar, aku dan istriku harus melakukan sesuatu agar anak-anakku merasa nyaman belajar. Seperti memfasilitasinya dengan meja belajar, rak buku, property penunjang belajar lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perhatian dan waktu yang cukup mendampingi anak belajar, berikan suasana kepadanya agar waktu belajarnya menjadi "terkesan penting" dan teramat luar biasa. Aku tidak pelit menghambur-hamburkan pujian saat anakku pandai meraut pensil misalnya, atau menghadiahkan peluk cium yang hangat saat ia menunjukkan hasil ulangannya, apapun nilainya. Buatlah ia merasa penting dan dihargai saat ia menunjukkan kemauan belajarnya.
Yang paling repot, misalnya saat mau menjelang UTS dan semester, istriku berinisiatif bagi-bagi tugas (istriku memang hebat kalau urusan belajar anak), aku dimintanya mengetik seluruh kertas-kertas ulangan anakku untuk seluruh mata pelajaran, kemudian diprint. Malam sebelum ujian, tugas istrikulah yang mendampingi anakku belajar mengerjakan kertas-kertas ulangan yang sudah aku print tadi, tentunya dengan beberapa tambahan materi yang sudah disiapkan istriku. Meskipun istriku sedikit “rame”, namun hasilnya terlihat nyata, dalam beberapa mata pelajaran, anakku dapat nilai yang cukup signifikan.
Meraih kesuksesan pendidikan memang tidaklah mudah, membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah kerja sama orang tua dan saling menguatkan bahwa belajar itu penting. Nanti lama-lama anak merasa bahwa belajar itu sangat penting, sampai-sampai orang tuanya sampai “turun tangan” dan berlama-lama nemenin anak belajar. Mungkin yang selama ini salah (sekali lagi mungkin), orang tua kebanyakan secara tidak sadar kurang menganggap penting ilmu pengetahuan, misalnya jarang sekali orang tua yang menyisihkan bajet bulanannya untuk membeli buku-buku pengetahuan, jarang orang tua yang menemani anak belajar dan dan tidak rutin setiap hari menanyakan perkembangan anak belajar di kelas.
Berilah stigma positif kepada anak dengan selalu mengaitkan kegiatannya setiap saat pada ilmu pengetahuan, misalnya saat main bola—kita bisa cerita “mengapa benda bulat gampang menggelinding sedangkan benda berbentuk kotak tidak mudah menggelinding”, begitu saat turun hujan, kita bisa cerita tentang sirkulasi: uap-awan-hujan-sungai-laut-menguap, dan seterusnya. Tidak harus menguasai masalah untuk menjelaskan pengetahuan kepada anak-anak, saya yang pengetahuannya terbatas tentang ilmu eksakta, sebisa saya saja menjelaskan tentang suatu proses terjadinya sesuatu.

Rabu, 30 Maret 2011

Demi anak belajar, "apapun" coba dilakukan


Tuhan tidak memberikan makan siang gratis, maknanya adalah Tuhan tidak memberikan kecerdasan dan keberhasilan hidup anak-anak kita tanpa ada jerih payah dari kedua orang tuanya dan si anak itu sendiri. Prinsip ini aku pegang benar, aku dan istriku harus melakukan sesuatu agar anak-anakku merasa nyaman belajar. Seperti memfasilitasinya dengan meja belajar, rak buku, property penunjang belajar lainnya. Dan yang lebih penting lagi adalah perhatian dan waktu yang cukup mendampingi anak belajar, berikan suasana kepadanya agar waktu belajarnya menjadi "terkesan penting" dan teramat luar biasa. Aku tidak pelit menghambur-hamburkan pujian saat anakku pandai meraut pensil misalnya, atau menghadiahkan peluk cium yang hangat saat ia menunjukkan hasil ulangannya, apapun nilainya. Buatlah ia merasa penting dan dihargai saat ia menunjukkan kemauan belajarnya.
Yang paling repot, misalnya saat mau menjelang UTS dan semester, istriku berinisiatif bagi-bagi tugas (istriku memang hebat kalau urusan belajar anak), aku dimintanya mengetik seluruh kertas-kertas ulangan anakku untuk seluruh mata pelajaran, kemudian diprint. Malam sebelum ujian, tugas istrikulah yang mendampingi anakku belajar mengerjakan kertas-kertas ulangan yang sudah aku print tadi, tentunya dengan beberapa tambahan materi yang sudah disiapkan istriku. Meskipun istriku sedikit “rame”, namun hasilnya terlihat nyata, dalam beberapa mata pelajaran, anakku dapat nilai yang cukup signifikan.
Meraih kesuksesan pendidikan memang tidaklah mudah, membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah kerja sama orang tua dan saling menguatkan bahwa belajar itu penting. Nanti lama-lama anak merasa bahwa belajar itu sangat penting, sampai-sampai orang tuanya sampai “turun tangan” dan berlama-lama nemenin anak belajar. Mungkin yang selama ini salah (sekali lagi mungkin), orang tua kebanyakan secara tidak sadar kurang menganggap penting ilmu pengetahuan, misalnya jarang sekali orang tua yang menyisihkan bajet bulanannya untuk membeli buku-buku pengetahuan, jarang orang tua yang menemani anak belajar dan dan tidak rutin setiap hari menanyakan perkembangan anak belajar di kelas.
Berilah stigma positif kepada anak dengan selalu mengaitkan kegiatannya setiap saat pada ilmu pengetahuan, misalnya saat main bola—kita bisa cerita “mengapa benda bulat gampang menggelinding sedangkan benda berbentuk kotak tidak mudah menggelinding”, begitu saat turun hujan, kita bisa cerita tentang sirkulasi: uap-awan-hujan-sungai-laut-menguap, dan seterusnya. Tidak harus menguasai masalah untuk menjelaskan pengetahuan kepada anak-anak, saya yang pengetahuannya terbatas tentang ilmu eksakta, sebisa saya saja menjelaskan tentang suatu proses terjadinya sesuatu.

Senin, 28 Maret 2011

RUMAH YANG BERSIH TANPA KOTORAN




Konon ada satu cerita dimana seorang istri yang sering mengeluhkan rumahnya selalu kotor, si ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor. Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 2 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi terjadi dan menyiksanya. Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir, dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu : "Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan" Ibu itu kemudian menutup matanya. "Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?" Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah.
Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya. Virginia Satir melanjutkan; "Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi". Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, napasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya. "Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu melihat jejak sepatu & kotoran di sana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu". Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb. "Sekarang bukalah mata ibu" Ibu itu membuka matanya "Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?" Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aku tahu maksud anda" ujar sang ibu, "Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif".
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah. Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Dan teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita 'membingkai ulang' sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya. Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang : Saya BERSYUKUR;

# Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain.
# Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe, atau di tempat mesum.
# Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
# Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi
# Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
# Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
# Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
# Untuk bunyi azan subuh jam setengah lima pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun.

Saat anak-anakku terlelap

Minggu, 27 Maret 2011

ROAD TO PENGADILAN JAKARTA TIMUR





Aku tiba di pengadilan Jakarta Timur jam 8.00, baru masuk belokan saja orang-orang berebut menawarkan cabut surat tilang, begitu masuk ke tempat prkir (pinggir jalan) lebih banyak lagi yang menawarkan “Bisa dibantu pak, cabut surat tilang”, kepada salah seorang dari mereka setengah berbisik saya bilang “Pak, saya ini guru saya ingin membuktikan bahwa saya inign membuktikan bahwa saya masih bias jujur. Si bapak calo itu Cuma tersenyum kecut. Barangkali dia piker, nih orang idealis dan sok jujur. He he he.
Jam 8.10 pintu pengadilan belum dibuka, masih ada orang senam di pelataran parkir, hm hm hm, dari foto di atas orang-orang antri mengambil nomor urut. Jadi setelah mengambil nomor urut kita tinggal menunggu panggilan, kata si abang calo yang saya temui di lapangan parkir, di sinilah celah dimana calo dan oknum pengadilan bermain, misalnya mendahulukan nomor yang berasal dari calo. Seorang calo memang bebas dan nyata ada di pengadilan ini, bahkan jumlahnya nyaris sama banyak dengan orang yang mengurus tilang sesungguhnya.
Tentang pemilihan hari Jumat sebagai hari siding tilang, saya juga tidak mengerti apa sebabnya pengadilan dan polisi memilih hari tersebut, padahal waktu siding sangat sempit karena biasanya jam 11.00 orang-orang sudah mempersiapkan sholat Jumat. Kalau boleh menduga, mungkin di sini juga celah kongkalingkong antara calo dan pengadilan, karena waktu yang sempit orang-orang lebih memilih cara “lewat belakang” agar lebih cepat, tanpa harus bersidang yang hal-hal urutan bersidang. Jika demikian, Negara ini memang sengaja mengatur system agar orang-orang jujur tidak mendapat tempat.
Saya melihat orang-orang berkerumun di depan pintu pagar sambil teriak-teriak, tapi tetap saja orang-orang pengadilan asyik senam, mungkin maksudnya kok orang penadilan tidak sensitive ya, denger-denger untuk hari ini saja ada 5000 tilangan.
Saat pintu dibuka, hal yang pertama dilakukan adalah menukar surat tilang dengan nomor antrian, aku dapet antrian 3486, tapi orang yang antri di belakang aku dapet antrian kepala 1000 an, tapi memang katanya itu bukan nomor urut tapi nomor panggilan.

Saambil menunggu dipanggil, aku sengaja menulis nomor antrian di lengan kiri besar-besar agar mudah terlihat, bias dibayangkan ketika ada antrian 5000 orang, rasanya amat mustahil panggilan akan di ulang lagi, di ulang lagi. Terdengar dari kerumunan antrian pembicaraan-pembicaran berisi kekecawaan terhadap polisi lalu lintas yang dengan berbagai alasan meminta damai ditempat sampai ratusan ribu rupiah, jadi sebenarnya orang-orang yang dating ke pengadilan ini adalah orang-orang yang memang tidak mampu bernegoisasi dengan polisi lalu lintas di jalanan.
Termasuk aku sendiri saat ditilang, nampaknya polisi ragu-ragu menulis surat tilang, sepertinya ia ingin damai ditempat menunggu aku bayar berapa, indikasi ini aku perhatikan saat orang-orang yang sudah diberhentikan lebih dahulu disbanding aku selesai juga, sementara aku yang baru ditilang karena aku bilang secara tegas “Pak tilang aja, udah pak tilang aja” tidak sampai 5 menit aku sudah ngeloyor pergi membawa bukti surat tilang.
Inilah potret penegakan hokum di negeri ini, Negara tidak berpihak kepada pencari keadilan, ketika orang sudah berbuat jujur ingin membayar denda kepada Negara sepertinya dipersulit,
Ada setengah menunggu, nomorku dipanggil, hanya diperlakukan berbeda aku disuruh menghadap ke meja, katanya SIM ku belum dikirim, secepatnya aku menuju ke ditlantas ke bagian GAKKUM, mengapa aku di pingpong begini. AKu ingin minta klarifikasi mengapa 2 minggu tidak cukup untuk mengantarkan surat tilang itu ke pengadilan. Dari kejadian ini seolah ada pembenaran bahwa ketika orang-orang harus berhadapan dengan polisi di jalan sebaiknya jalan “damainya” yang harus ditempuh. Sebab ketika orang harus mengikuti prosedur maka ia akan kesulitan, rugi banyak waktu dan capek perasaan. Inilah sebenarnya, lingkaran setannya, hokum diatur dijalankan sedimikian rupa, agar mempersulit orang mencari keadilan.
Setiba di kantor Ditlantas pelayanan Tilang GAKKUM , meski kelihatan tidak ramai, ada beberpa orang sedang menunggu surat tilangnya diproses, keluhannya sama ia dilempar dari pengadilan negeri untuk diminta ke ditlantas. Ada apa sih dengan kinerja polisi seperti ini? Tidak ada penjelasan yang bisa diberikan, apa yang dilakukan polisi memiliki pembenaran apapun itu. Apakah waktu 2 minggu tidak cukup untuk mengurus pengiriman barang bukti tilang? Berapa energi yang harus terbuang ketika kita dipingpong seperti ini?
Mengapa sesuatu yang sebenarnya gampang harus dipersulit? Mengapa polisi cari-cari kesalahan orang berkendara? Mengapa polisi terkadang lebih banyak menjebab orang berkendara dibanding mengarahkan pengendara?
Ada bapak-bapak yang dipingpong sampai 3 kali di pengadilan, ke mabes dan terkahir ke ditlantas.
Kesimpulannya gampangnya kata-kata bapak di sebelah: Kalo berhadapan dengan polisi di jalan lebih baik DAMAI saja daripada menjaga idealisme malah jadi nyusahin begini!

Selasa, 22 Maret 2011

Ibu yang kerja sift malem



Suatu malam saat kami terlelap, ada suara tangis dari tetangga sebelah, tangis seorang batita dari rengekan tangisnya ia ingin digendong oleh ibunya. Namun setahuku ibunya malam itu masuk kerja malam, yang ada suaminya. Mungkin saat itu si anak ingin digendong tengah pelukan ibunya. Rasanya hatiku miris mendengar rengekan tangis batita tersebut. Setahuku, anak tetangga sebelah memang terlihat sangat cengeng dan agak kurang sehat. Bagaimanapun ketika batita sering ditinggal oleh orang tuanya (baca: ibunya) maka pertumbuhan dalam banyak hal menjadi bermasalah. Aku bukan ahli psikologi, tapi rasanya asupan kasih sayang anak akan berkurang jauh saat sang ibu "ikut-ikutan" cari duit.
Berapa duit sih yang "si ibu" dapatkan ketika kerja siang malam meninggalkan keluarganya? Menurut saya, sebagai orang tradisional (baca: kuno) bahwa fungsi masing-masing dikembalikan sesuai dengan alamiahnya, yaitu laki-laki kerja di luar rumah dan sang istri bekerja di rumah, dari sudut pandang saya yang kuno tadi, cara inilah yang sebenarnya membuat angin harmoni terus berhembus dalam sebuah rumah tangga.
Dengan banyak punya waktu di rumah, dengan naluri keibuan sang ibu bisa menjadi teman bermain, mengontrol apa yang dilakukan anak dan sang ibu men-charge ruang-ruang hati anak dengan hal-hal positif.
Jika sang ibu sering pergi, apalagi malam hari, saat semua harus kumpul maka ruang-ruang hati anak akan selalu ekesepian, dan si anak sulit mencari tambatan hatinya. Saya melihat beberapa kenalan yang kedua orang tuanya bekerja, pertumbuhan psikologis anak menjadi tidak maksimal, misalnya saat anak pulang sekolah, anak jadi sering menghabiskan waktunya di tempat-tempat permainan, saat bergaul ucapan mereka sulit dikontrol tanpa pengawasan orang tua. (Bersambung)

Sabtu, 19 Maret 2011

Hidup dengan diabetes



Pemandangan foto di atas, aku ambil saat perjalanan menuju ke tempat kerja, aku beberapa kali bertemu padanya. Melihat kaki sebelah kirinya aku menduga ia menderita kencing manis, sebab kakinya seperti membusuk yang dibungkus plastik kresek hitam. Nampak ia tertatih-tatih menjalankan motornya saat jalanan berlubang, ada rasa haru dan bangga pada semangatnya menjalani hidupnya.
Mungkin kepergiaannya setiap pagi untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Penyakit yang dideritanya tidak menghalanginya untuk mencari penghidupan. Dari peristiwa di atas menjari pelajaran berharga buat saya, mulai dari sekarang menjalani pola hidup dan makan yang sehat. Mungkin jangan berlebih-lebihan ketika makan, belajar menahan diri untuk makan yang enak-enak dan lezat-lezat. Tapi apa bisa?

Jumat, 18 Maret 2011

Mengelola marah



Ada yang bilang marah itu mnimbulkan energi luar biasa. Contohnya saat lagi biasa terkadang orang males angkat2 meja dan kursi. Tapi saat lagi marah meja dan bangku yang berat itu seolah jadi ringan. Saat lagi biasa, seorang wanita terkadang malas mencuci piring, tapi kalau marah (tepatnya sebel) terkadang tanpa terasa piring yang dicuci selesai dicuci tanpa terasa.
Secara normal setiap orang pernah memiliki rasa marah, tapi ada ruang pelajaran yang bisa kita ambil dari rasa marah. Saat kita diminta untuk melakukan ini itu dengan diberi ancaman marah, kita jadi malas melakukan permintaan itu. Sikap permusuhan membuat kita menjauh. Yang timbul adalah sikap perlawanan dan melakukan kontra produktif. Singkatnya rasa permusuhan tidak dapat timbal balik dari apa yang kita harapkan.
Propaganda untuk memengaruhi orang lain tidak dapat dilakukan dengan kemarahan. Orang lain akan tunduk dan patuh secara palsu jika didahului dengan kemarahan. Begitu sikap kita ketika menghadapi murid, saya baru terpikir sikap marah kita kepada murid nyatanya tidak pernah membuat murid berubah. Semakin sering dimarahi semakin jadi perilakunya. Muncul didiri anak rasa tidak simpati dan sikap tidak percaya kepada gurunya. Kalau kata Tanri Abeng, sikap sebuah hubungan didasari atas saling ketidakpercayaan maka hubungan itu menjadi nihil adanya.
Sekarang bagaimana caranya membangun hubungan yang menimbulkan rasa saling percaya. Pertama, mungkin, harus kemauan membuka diri atas peran dan fungsinya masing-masing jangan saling mengintervensi pekerjaan, saling memuji dan mengritik secara sopan dan mungkin juga saling menahan diri untuk gampang emosi.

Rabu, 16 Maret 2011

Ayo main, buat kamar ayah berantakan...



Anakku yang kedua, Hanif, sedang lincah-lincahnya, maret ini ia genap berusia satu tahun. Giginya sudah tumbuh delapan, atas 4 bawah 4. Ia sudah mulai (lancar) berjalan,dari mulai 5 tindakan, sampai sekarang sudah 9 - 15 tindakan. Menurutku ia termasuk cepat bisa berjalan. Karena senang berekslorasi, nyaris semua bagian rumahku pernah dijelajahinya, juga sekaligus diberantakinnya, tampaknya ia mulai mengenali suara jika benda-benda dijatuhkan, yang paling rajin dijatuhkan buku-buku kakaknya, Billy, di rak meja belajarnya. Terkadang kakaknya bereaksi kesal melihat buku-bukunya diberantakin. Tapi aku selalu mengingatkan, bahwa waktu kecil dulu sang kakak juga berbuat hal serupa.
Untuk urusan berantakan ini, aku paling senang jika Hanif bermain di kamarku. Aku diam saja ketika anakku berantakin sekumpulan CD, banting-banting HP (untungnya HP model sekarang tahan banting ya),dan ngetok-ngetok keyboard dan mos. Anak memang peniru ulung, ia kerap kali memutar-mutar scrol mos dan memerhatikan lampu mos yang menyala, juga yang paling sering ia lakukan sebelum membanting ia meletakkan HP di telinganya sambil bergumam "ah...ah" lucu sekali.
Pengalaman dari anakku yang pertama, memang setiap periode perkembangan bayi ada masa-masa saat sang bayi melakukan sesuatu yang berbeda, usia 8 bulanan dengan baby walkernya ia kerap menuju galon air dan senang menekan kerannya agar airnya keluar, aku tidak melarangnya melainkan aku sendiri yang menutup lubang kerannya, meskipun ditekan sedemikian rupa air itu tetap tidak keluar. Kemudian ada periode mengenali batang dengan cara memasukan ke dalam mulut, dan ini yang paling repot, aku dan istri ekstra hati-hati mengawasi barang-barang yang dipegangnya (Terima kasih ya Alloh, Engkau telah menjaganya tidak menelan benda-benda berbahaya).
Mungkin, nanti saya akan tulis hal-hal unik yang terjadi dalam periode perkembangan berikutnya.

Selasa, 15 Maret 2011

Hukum dunia: Yang Baik Segalanya Tak Gampang Dilakukan.



Menjelang dua minggu sebelum siswa kelas 9 mengikuti ujian akhir sekolah. Aku sempat bercanda di kelas bahwa dalam 2 minggu ini saya akan bicara terbalik. Maksudnya? Ya saya akan bicara terbalik dari guru-guru lain saat nasehatin siswa. Saya katakan, “Tolong buku-buku tentang ujian nasional JANGAN dibaca” atau “Kalau perlu sering-seringlah keluar malam” atau “Jika ada uang jangan beli buku, main PS aja”. Saya mengatakan itu bukan tanpa maksud.Pertama, hampir setiap guru yang masuk kelas selalu nasehatin yang baik-baik, jangan ini, jangan itu! Tetapi kenyataannya tetap saja siswa melakukan kebalikan dari apa yang dinasehatin. Coba perhatikan ketika siswa kebut-kebutan di jalan pasti orang tuanya pernah bilang “Nak, naik motor jangan ngebut ya?”, ketika siswa nongkrong sama teman-teman malam hari, orang tuanya juga pernah bilang “Bentar lagi mau ujian, jangan keluar malam tidak karuan!”, atau saat pulang sekolah (tau malah bolos sekolah) siswa main PS, pasti orang tuanya juga pernah nasehatin, “Pulang sekolah langsung ke rumah jangan main PS!”. Kenyataannya siswa cenderung melawan arus dari apa yang dinasehatin orang tuanya.
Kembali ke judul di atas, kadang saya berpikir mengapa ya sesuatu yang bermakna baik selalu tidak gampang dikomunikasikan dan komunikannya tidak gampang buru-buru melaksanakannya. Menuyuruh siswa baca buku tidak gampang dipatuhi, menyuruh siswa siswa belajar bersama menjelang ujian tidak dilaksanakan, menyuruh solat, mengaji tidak buru-buru dilaksanakan siswa.
Saat jam pelajaran berakhir, siswa diharapkan sholat zuhur berjamaah, kalau tidak guru piketnya bawa pentungan siswa masih duduk-duduk ngobrol. Coba siswa disuruh melakukan hal sebaliknya, spontan siswa melakukannya “Sepulang sekolah siswa jangan sholat tapi langsung main PS ya?” Menurutku disinilah letak keadilan Tuhan, disinilah kompetisi hidup dimulai, kalau semua orang gampang dinasehatin dan segera melaksanakan nasehat itu menurutku malah warna-warni hidupnya malah tidak kelihatan. (bersambung)

Senin, 14 Maret 2011

Dahli dan Puber Kedua



Nama lengkapnya Dahli Ahmad, aku biasa memanggilnya Aki Dahli, 3 tahun belakangan ini ia memasuki fase puber kedua dalam bidang pendidikan. Ada beberapa alasan. Pertama dia yang menggagas bedirinya kelas unggulan di MTs Attaqwa 03 babelan. Kedua dialah satu-satunya guru yang yang sedang menyelsaikan kuliah S2 nya di Bandung (Bandingkan dengan saya yang takut dites TOEFEL). Ketiga, yang sekarang lagi dilakukannya adalah deklarasi Ikatan Guru Indonesia cabang kota dan kabupaten Bekasi. Setiap hari hp nya selalu berdering-dering membicarakan hal-ikhwal tentang deklarasi tersebut.
Puber kedua ini saya maksudkan ketika usia bertambah tua tapi semangat untuk memajukan pendidikan tidak kendur, tapi malah tambah semangat mengajar makin tinggi dengan menggunakan metode dan media yang tepat.
Aku sangat mengapresiasi berdirinya IGI di Bekasi, paling tidak organisasi ini bisa dijadikan kompetitor yang sehat bagi organisasi guru yang sudah ada seperti PGRI dan PGM. Dalam beberapa kali aku pernah terlibat kegiatan IGI pusat, ternyata luar biasa, tokoh-tokohnya masih muda, idealismenya masih genuine dan selalu mengedepankan ide-ide baru dalam pendidikan.
Dalam tahap awal aku yang sebenarnya paling rajin mendorong lahirnya IGI di Bekasi dan rekan Aki Dahli jadi ketuanya. Namun kesibukanku "di rumah" membuatku cukup melakukan hal-hal kecil mensupport teman-teman di IGI Bekasi.
Semoga keberadaan organisasi baru ini teman-teman tetap idealis tanpa tergerus kepentingan sesaat dan tetap konsisten memunculkan ide-ide baru dalam memajukan pendidikan di nusantara ini. Sekali lagi selamat.

Penjual nasi goreng dan istrinya



Suatu sore saat aku sedang menunggu cuci motor. Aku memerhatikan sepasang suami istri sedang mendorong gerobak nasi goreng, rupanya mereka hendak menggelar dagangannya. Rutinitas mereka dimataku luar biasa. Aku menyaksikan pemandangan bagaimana sang suami memasang bambu-bambu kerangka tenda, bambu-bambu yang besar ia pasang sendiri, ditarik, diulur, sampai memasang penutup tenda, menurutku pekerjaan itu tidak gampang. Sementara istrinya asyik menurunkan perkakas pembuatan nasi goreng, mengelap kaca gerobak, menyusun piring, mengatur bangku-bangku, memasang taplak, mengatur bumbu-bumbu pada kotaknya dan seterusnya. Suatu rutinitas yang dilakukan secara harmoni dan kerjasama pada tugasnya masing-masing.
Sekali lagi menurutku pekerjaan itu tidak gampang. Untuk berbenah saja mereka membutuhkan waktu satu jam! Dan itu diulanginya saat harus membongkar lapak dagangannya saat menjelang dini hari. Bayangkan saat kita terlelap mereka dengan telaten harus menyusun kembali gerobak dagangannya dan kembali esok hari melakukan rutinitas serupa.
Bagaimana jika daganganya sepi pembeli? Ini yang menurutku yang luar biasa juga. Mereka melakukan itu dengan ramai pemeblei atau sepi pembeli. Kata seorang teman, itulah warna-warni hidup bekerja. Kita harus bersyukur terhadap semua pekerjaan yang kita lakukan. Mungkin menurut kita pekerjaan anu capek dan pekerjaan ini tidak capek. Sebenarnya semua pekerjaan sama, tinggal tergantung kita bagaimana cara melakoninya secara harmoni.

Minggu, 13 Maret 2011

Minta maaf tapi tidak menyesal.



Kok bisa ya? Ya bisa. Seorang kawan bercerita bahwa sekolah tempat dia mengajar di Jakarta tidak memperbolehkannya lagi menjadi pengawas ujian nasional tahun ini. Alasannya karena dia pernah mempermasalahkan siswa yang tidak hadir pada saat ujian nasional berlangsung. Menurutnya ketidakhadiran siswa bisa dimengerti jika siswa itu sakit atau ada uzur lainnya, tapi siswa tersebut ternyata telah berhenti sejak kelas dua. Entah alasan apa kepala sekolahnya tetap “menghidupkan” ijazah tersebut dengan menganggap hadir siswa tersebut dan kertas ujiannya diisi panitia.
Kawan saya ini jika dianggap salah oleh sekolah dia meminta maaf tapi dia katakan bahwa dia tidak menyesal melakukan itu. Niatnya Cuma satu: dia ingin menerapkan prinsip-prinsip kejujuran bukan hanya dimulut.
Saya simpati pada idealisme dan prinsip yang dipegang kawan saya itu. Terkadang amat jelas terjadi, justru orang yang sangat paham agama yang justru melakukan praktik-praktik tersebut. Kawan saya ini, ketika saya tanya kenapa tidak mengikuti arus saja dia menjawab, “Saya punya 2 anak balita, saya mau menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dalam mendidik, dan itu saya mulai dari diri saya sendiri”.