Jumat, 01 April 2011

Relasi orang tua - anak



Membangun hubungan kakak beradik harus ditempa sejak dini, ini dilakukan karena persoalan membangun relasi kakak-adik tidak bisa dilakukan secara ujug-ujug--dibiarkan saja terjadi secara alamiah. Ketika si kakak merasa ada pesaing baru, banyak hak-haknya terkurangi, terbelah sebagian untuk adiknya. Dalam tahap awal saya sering katakan, “Kakak adalah anak pertama ayah dan dede adalah anak kedua ayah”, sering saya ulangi kata-kata tersebut. Atau kata-kata lainnya, “Kakak dan dede berasal dari rahim ibu yang sama, keluar dari vagina ibu”.
Terkadang, tanpa kita sadari hak-hak emosional anak tertua tidak lagi dia dapatkan seperti pelukan saat bangun tidur, cium pipi saat-saat tertentu dan ucapan olok-olok becaandaan saya kepadanya. Ritual wajib itu tiba-tiba berpindah kepada adiknya, perhatian kedua orang tuanya terasa nyata oleh si kakak. Pada masa transisi ini, ucapan-ucapan seperti di atas tadi saya ulang-ulangi setiap ada kesempatan berkumpul dengan anak-anak. Tanamkan bahwa adik baru bukan pesaing, bukan kompetitor . Saya selalu meminta pendapat kakaknya misalnya, “Kak, enaknya dede kita belikan mainan apa ya?” atau “Kak, menurut kakak dede suka es krim tidak?”. Dengan begini keberadaan kakak menjadi penting, dia merasa dibutuhkan orang tuanya. Mungkin kecil dulu, dia dihargai dengan dicium atau dipeluk, sekarang dihargai dengan cara dimintakan pendapatnya tentang sesuatu hal.
Mungkin saja yang terjadi selama ini, saat remaja mulai tidak betah di rumah, sering keluar malam dan bermain dengan teman-temannya tapi kontrol bisa jadi diakibatkan karena si remaja merasa tidak “dibutuhkan” orang tuanya, mereka hanya memberi ketika diminta anak. Jarang sekali orang tua menghargai anak dalam konteks meminta pendapat anaknya ketika orang tua ingin melakukan suatu hal.
Saat anak seusia Sekolah Dasar, saat sedang senang-senangnya mencoba hal-hal baru dan berpetualang, saya sempatkan di hari liburnya untuk ikut “nimbrung” bersama teman-teman mainnya membuatkan tempat “bersembunyi” atau tenda berkemah. Saya membantu teman-temannya mengumpulkan ranting dan daun pohon untuk membangun tendanya, saya sering memfasilitasi kebutuhan bermainnya dengan cara membelikan bahan bakar parafin dan meminjamkan tenda sekolah sebagai sarana bermainnya. Apapun saya lakukan agar anak betah di rumah, agar anak terpuaskan naluri dan imajinasi bermainnya. Saya memperlakukan anak saya, persis ketika saya waktu kecil dulu mengharapkan orang tua menemani bermain. Sebab ketika orang tua menjaga jarak--misalnya tidak mau berperan seperti “anak-anak” saat bermain bersamanya, maka bibit kesenjangan telah tersemai dan ini sangat hidden sekali. Si anak tidak pernah mengutarakan di depan orang tuanya. Operasi yang sangat sepi sekali. Tapi tiba-tiba bibit kesenjangan itu telah berubah menjadi bentuk buah “perlawanan” anak kepada orang tuanya. Melawan dalam kesepiannya.
Mengubah perilaku anak bukan pekerjaan instan, proses mendidiknya sama panjang dengan usianya, sepanjang usianyalah pendidikan itu diberikan. Sebab setiap umur tertentu setiap anak mempunyai kondisi yang berbeda, ada masa ketika anak menyukai suatu hal, ada masa ketika anak membenci suatu hal, ada masa ketika masa ketika anak mencoba ini itu, ada masa ketika anak merasa ingin mandiri dan seterusnya dan seterusnya. Satu periode saja kita tidak bisa mendampingi melewati periode-peruide tersebut, akan ada kesempatan yang hilang, akan ada masa “memberi warna” yang hilang.