Minggu, 12 Juni 2011

Terapi rekam, untuk anakku.




Suatu kali anakku menangis (karena ngantuk) yang sulit didiamkan, sudah berbagai cara ditempuh untuk mendiamkan. Akhirnya cara terakhir aku tempuh, biasanya aku mengambil kamera perekam sebagaimana aku lakukan dulu pada kakaknya. Aku rekam gaya dan suaranya menangis, kemudian aku replay dan diperdengarkan kepadanya kemudian. Biasanya dia akan terdiam karena merasa aneh ada suara yang mirip suaranya.
Meski cara ini tidak selalu sukses, tapi sejenak bisa membuatnya diam. Terkadang aku mencari cara-cara yang tidak lazim untuk membuat anak beralih perhatiannya. Dan cara itu bisa menghentikan tangisnya tanpa harus menyakiti anak.
Untuk kakaknya lain lagi. Aku selalu membuat surat perjanjian atau rekaman perjanjian untuk memberi pelajaran bagaimana berkomitmen tentang perjanjian. Sering, kita, orang tua ngomelin sambil meminta janji anak, “Kak mandi nanti, kalau tidak mandi nanti tidak dibeliin es krim”, atau “Kalau tidak belajar, nanti tidak usah jalan-jalan naik motor”. Itu janji dimulut tanpa tertulis, coba lihat hasilnya pasti mengecewakan, “Janji tinggal janji” kata orang.
Seringkali aku mengajak anakku ke tempat kerja (percetakan), batu beberapa menit dia sudah mengajak pulang biasanya kita bilang “Tadi tidak usah ikut kalau minta pulang” dan akhirnya kita mengalah mengantarkannya pulang meski pekerjaan belum selesai. Suatu kali saat dia minta ikut aku siapkan rekaman perjanjian, maksudnya aku menyiapkan MP3 player untuk merekam suara janjinya, “Kakak boleh ikut ayah tapi tidak boleh buru-buru minta pulang, sekarang ayo janji sama ayah pake suara nanti ayam rekam”. Hasilnya sangat efektif, setiap dia mulai kelihatan tidak betah aku mengingatkannya “Ingat janji kamu, nanti ayah putar rekamannya ya?”, biasanya dia mengerti dan ikut menemaniku merampungkan pekerjaan.
Selanjutnya cara seperti ini sering aku gunakan, setiap kali diminta sesuatu dia kurang merespon aku buru-buru ambil pulpen dan menuliskan perjanjian, biasanya sebelum kertas itu digantung di tembok kamarnya, ia sudah kooperatif mau melaksanakan tugasnya. Ternyata anakpun memiliki sikap kesatria dan memiliki komitmen memegang teguh sebuah perjanjian. Asal tentu saja, kita sebagai orang tua benar-benar berkomitmen pula melaksanakan perjanjian yang kita buat. Jadi jangan mengharapkan anak mau melaksanakan perjanjiannya jika kita sendiri sering ingkar janji, betatapun kecil dan sepelenya janji itu.