Minggu, 27 Maret 2011

ROAD TO PENGADILAN JAKARTA TIMUR





Aku tiba di pengadilan Jakarta Timur jam 8.00, baru masuk belokan saja orang-orang berebut menawarkan cabut surat tilang, begitu masuk ke tempat prkir (pinggir jalan) lebih banyak lagi yang menawarkan “Bisa dibantu pak, cabut surat tilang”, kepada salah seorang dari mereka setengah berbisik saya bilang “Pak, saya ini guru saya ingin membuktikan bahwa saya inign membuktikan bahwa saya masih bias jujur. Si bapak calo itu Cuma tersenyum kecut. Barangkali dia piker, nih orang idealis dan sok jujur. He he he.
Jam 8.10 pintu pengadilan belum dibuka, masih ada orang senam di pelataran parkir, hm hm hm, dari foto di atas orang-orang antri mengambil nomor urut. Jadi setelah mengambil nomor urut kita tinggal menunggu panggilan, kata si abang calo yang saya temui di lapangan parkir, di sinilah celah dimana calo dan oknum pengadilan bermain, misalnya mendahulukan nomor yang berasal dari calo. Seorang calo memang bebas dan nyata ada di pengadilan ini, bahkan jumlahnya nyaris sama banyak dengan orang yang mengurus tilang sesungguhnya.
Tentang pemilihan hari Jumat sebagai hari siding tilang, saya juga tidak mengerti apa sebabnya pengadilan dan polisi memilih hari tersebut, padahal waktu siding sangat sempit karena biasanya jam 11.00 orang-orang sudah mempersiapkan sholat Jumat. Kalau boleh menduga, mungkin di sini juga celah kongkalingkong antara calo dan pengadilan, karena waktu yang sempit orang-orang lebih memilih cara “lewat belakang” agar lebih cepat, tanpa harus bersidang yang hal-hal urutan bersidang. Jika demikian, Negara ini memang sengaja mengatur system agar orang-orang jujur tidak mendapat tempat.
Saya melihat orang-orang berkerumun di depan pintu pagar sambil teriak-teriak, tapi tetap saja orang-orang pengadilan asyik senam, mungkin maksudnya kok orang penadilan tidak sensitive ya, denger-denger untuk hari ini saja ada 5000 tilangan.
Saat pintu dibuka, hal yang pertama dilakukan adalah menukar surat tilang dengan nomor antrian, aku dapet antrian 3486, tapi orang yang antri di belakang aku dapet antrian kepala 1000 an, tapi memang katanya itu bukan nomor urut tapi nomor panggilan.

Saambil menunggu dipanggil, aku sengaja menulis nomor antrian di lengan kiri besar-besar agar mudah terlihat, bias dibayangkan ketika ada antrian 5000 orang, rasanya amat mustahil panggilan akan di ulang lagi, di ulang lagi. Terdengar dari kerumunan antrian pembicaraan-pembicaran berisi kekecawaan terhadap polisi lalu lintas yang dengan berbagai alasan meminta damai ditempat sampai ratusan ribu rupiah, jadi sebenarnya orang-orang yang dating ke pengadilan ini adalah orang-orang yang memang tidak mampu bernegoisasi dengan polisi lalu lintas di jalanan.
Termasuk aku sendiri saat ditilang, nampaknya polisi ragu-ragu menulis surat tilang, sepertinya ia ingin damai ditempat menunggu aku bayar berapa, indikasi ini aku perhatikan saat orang-orang yang sudah diberhentikan lebih dahulu disbanding aku selesai juga, sementara aku yang baru ditilang karena aku bilang secara tegas “Pak tilang aja, udah pak tilang aja” tidak sampai 5 menit aku sudah ngeloyor pergi membawa bukti surat tilang.
Inilah potret penegakan hokum di negeri ini, Negara tidak berpihak kepada pencari keadilan, ketika orang sudah berbuat jujur ingin membayar denda kepada Negara sepertinya dipersulit,
Ada setengah menunggu, nomorku dipanggil, hanya diperlakukan berbeda aku disuruh menghadap ke meja, katanya SIM ku belum dikirim, secepatnya aku menuju ke ditlantas ke bagian GAKKUM, mengapa aku di pingpong begini. AKu ingin minta klarifikasi mengapa 2 minggu tidak cukup untuk mengantarkan surat tilang itu ke pengadilan. Dari kejadian ini seolah ada pembenaran bahwa ketika orang-orang harus berhadapan dengan polisi di jalan sebaiknya jalan “damainya” yang harus ditempuh. Sebab ketika orang harus mengikuti prosedur maka ia akan kesulitan, rugi banyak waktu dan capek perasaan. Inilah sebenarnya, lingkaran setannya, hokum diatur dijalankan sedimikian rupa, agar mempersulit orang mencari keadilan.
Setiba di kantor Ditlantas pelayanan Tilang GAKKUM , meski kelihatan tidak ramai, ada beberpa orang sedang menunggu surat tilangnya diproses, keluhannya sama ia dilempar dari pengadilan negeri untuk diminta ke ditlantas. Ada apa sih dengan kinerja polisi seperti ini? Tidak ada penjelasan yang bisa diberikan, apa yang dilakukan polisi memiliki pembenaran apapun itu. Apakah waktu 2 minggu tidak cukup untuk mengurus pengiriman barang bukti tilang? Berapa energi yang harus terbuang ketika kita dipingpong seperti ini?
Mengapa sesuatu yang sebenarnya gampang harus dipersulit? Mengapa polisi cari-cari kesalahan orang berkendara? Mengapa polisi terkadang lebih banyak menjebab orang berkendara dibanding mengarahkan pengendara?
Ada bapak-bapak yang dipingpong sampai 3 kali di pengadilan, ke mabes dan terkahir ke ditlantas.
Kesimpulannya gampangnya kata-kata bapak di sebelah: Kalo berhadapan dengan polisi di jalan lebih baik DAMAI saja daripada menjaga idealisme malah jadi nyusahin begini!