Ada seorang kiyai yang ditanya muridnya. “Pak Kiyai mana yang lebih besar dosanya
orang yang melakukan hubungan intim di luar nikah dengan orang yang korupsi?”
Sang kiyai menahan napas, kaget mendapat pertanyaan tersebut, pertanyaan ini
ditujukankepada siapa? Sejurus kemudian sang kiyai bimbang memberi jawaban.
Kalau ukuran di masyarakat, yang lebih heboh biasanya pilihan yang pertama,
hubungan intim di luar nikah, semua sepakat menghujat perilaku tidak terpuji
tersebut, pelakunya dikucilkan, dihinakan, di arak keliling kampung dan
sebagainya. Nah, bagaimana dengan pilihan yang kedua? Tentang korupsi?
Sang kiyai, menarik napas kembali. Terlintas dibenaknya
bahwa mental dia tidak lebih baik dari perilaku hubungan intim di luar nikah
tadi, bunkankah dia sering menyelewengkan dana
pembangunan musholla, kadang juga menilep uang sumbangan jamaah musholla
untuk tidak diberikan kepada anak-anak yatim? Siapa yang lebih bersalah di hadapan gusti
Allah? Bukankah pelaku hubungan intim tadi hanya dilakukan berdua, artinya
dosanya hanya dia dan kepada gusti Allah semata. Sedangkan sang kiyai, berapa
ratus anak yatim yang haknya terampas oleh ketamakan sang kiyai, berapa puluh
jamaah mushollah yang yang dana sodakohnya tidak sampai kepada yang berhak menerimanya? Mengapa penghormatan
kepada sang kiyai seakan menutup dosa-dosa yang telah dilakukannya? Banyak
orang yang sampai mencium tangan bolak-balik, memberi doa-doa kebaikan untuk
sang kiyai.
Mungkin ilustrasi di atas hanya imajiner belaka. Tapi
sesungguhnya, sepatutnya kita merasa bersalah, bukankah yang kita lakukan
selama ini kita memberikan penghormatan berlebihan kepada topeng-topeng
kemunafikan yang berjubahkan atribut kekiyai-an? Tidakkan kita mengkritisi
bahwa apa yang telah dilakukan kiyai itu lebih membawa mudharat dibanding orang
yang melakukan hubungan intim tadi? Terkadang untuk kesalahan orang lain kita
mudah mengatakan bahwa dosanya yang dilakukannya sungguh lebih besar.
Melakukan hubungan intim di luar nikah tentu saja salah.
Tapi dari dua kejadian tadi seharusnya kita bercermin bahwa apa yang telah kita
lakukan selama ini tidak lebih baik dari mereka. Mungkin saja dua sejoli yang
melakukan hal tidak terpuji tersebut merupakan bagian dari jamaah pengajiannya?
Artinya selama ini pesan-pesan ceramahnya tidak dapat membuat orang lain
menjadi baik. Ucapan-ucapan ceramah agamanya seakan masuk telinga kanan keluar
telinga kiri. Bagaiamana mungkin menasihati orang jika dia sendirinya tidak
melakukannya…………….