Jumat, 06 Agustus 2010

Sepenggal kisah: Bang Sorih, Penjual Sayur dan Jamu Gendong






Bakda magrib, meski mulai gerimis, aku dan anakku beranjak pulang dari rumah enyak di Ujungharapan menuju kediamanku di pondok ungu permai. Hari mulai gelap, di perjalanan aku melihat bang sori yang kurus, menua, terseok-seok membawa becaknya, mungkin mencari penumpang. Aku mengira-ngira, kalau malam begini, dan mulai gerimis, siapa yang mau menaiki becaknya?
Saya mengenal bang Sori karena adiknya teman aku sekolah, namanya Khorudin, juga penarik becak.Kalau benar demikian,Apakah ada alasan yang sangat kuat sampai malam-malam mencari penumpang? Bolehkan aku mengira-ngira begini alasannya, malam ini ia harus dapat uang untuk mengobati anaknya yang demam tinggi, atau anak istrinya yang merengek-rengek minta makan?
Selang beberapa detik, di depannya aku melihat tukang sayur dorong yang tergopoh-gopoh mengayuh gerobaknya, aku lihat dagangannya masih banyak. Berarti dari pagi dia keliling, baru sedikit dagangannya yang laku. Lalu bagaimana dia dapat mengumpulkan untuk belanja besok, kemudian apa alasannya ketika istrinya bertanya tentang keuntungan yang harus dibawa pulang?
Sejurus kemudian, samar-samar aku melihat mbok jamu gendong sedang berjalan kaki. Seperti tukang sayur, aku tidak mengenalinya sama sekali, karena mulai gelap. Seorang ibu yang hebat, pikirku, sampai malam ia membawa beban di pundaknya untuk menjual gelap demi gelas jamunya. Aku berharap malam ini membawa untung lumayan, agar diia di rumahnya dapat tidur lelap.
Baru sampai sepertiga perjalanan hujan turun dengan derasnya. Aku "ngaub" sebentar. Tapi? Bagaimana dengan bang Sorih, Penjual Sayuran dan Mbok Jamu Gendong? Mereka pasti kehujanan. Aku taruh dompet, MP3, Hape di box motorku, aku bersegera menghidupkan motor dan berjalan pulang di tengah hujan deras, aku akan menaklukkan hujan deras seperti mereka bertiga yang menjalani hidupnya di tengah hidupnya prihatin.